TRIBUNNEWS.COM, GONTOR – Suara musik tradisional gamelan terdengar menggema di lapangan sepak bola Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, Rabu (31/8) malam.
Peringatan 90 Tahun Gontor sangat meriah ketika salah satu 'putra' terbaiknya, budayawan Emha Ainun Nadjib yang telah melanglang buana ke berbagai belahan dunia bersama Kiai Kanjeng, grup musik andalannya dalam berdakwah, manggung dan menghibur para santri, guru-guru dan masyarakat sekitar Pondok Gontor.
Pria yang akrab disapa Cak Nun ini turut mengajak sang kakak, Ustaz Ahmad Fuad Effendy alias Cak Fuad, alumnus Gontor angkatan 1965, untuk hadir di pondok tercinta. Keduanya membagi kesan dan kenangan indah selama belajar di bawah asuhan dan bimbingan Trimurti, pendiri Pondok Gontor.
Budayawan Emha Ainun Nadjib saat tampil bersama Kiai Kanjeng memeriahkan Peringatan 90 Tahun Pondok Modern Darussalam Gontor di lapangan sepak bola pondok, Desa Gontor, Ponoro, Jawa Timur, Rabu (31/8/2016) malam. DOKUMENTASI PANITIA 90 TAHUN PONDOK MODERN DARUSSALAM GONTOR
Kedatangan Cak Nun bersama Kiai Kanjeng disambut sukacita pimpinan Pondok Gontor, terutama KH Hasan Abdullah Sahal, yang begitu akrab dengan Cak Nun dan Cak Fuad semasa nyantri hingga sekarang.
Kiai Hasan memuji Cak Nun berkhidmat untuk umat, menyandingkan kesenian dan kebudayaan sekaligus. Beliau meminta Cak Nun memberikan penampilan terbaik untuk dinikmati adik-adik kelasnya, santri-santri dan masyarakat sekitar Pondok Gontor.
“Kakak-kakakmu, terutama Ustaz Emha Ainun Nadjib, dengan talenta yang dimilikinya telah memberikan banyak hal untuk umat. Malam hari ini beliau hadir bersama kita untuk turut mensyukuri nikmat yang diberikan Allah kepada kita, dengan menyuguhkan “hidangan” berupa hiburan,” kata Kiai Hasan dalam sambutannya sebelum Cak Nun dan Kiai Kanjeng tampil.
“Mari kita menikmati hidangan ini sebagai wujud syukur pada Peringatan 90 Tahun Pondok Modern Darussalam Gontor yang kita cintai. Kita harus menikmati kesyukuran ini. Kalau kita nikmati senang hati, Allah akan menambah nikmat-Nya. Sebaliknya, kalau kita tidak senang dengan nikmat Allah, kita justru akan mendapat azab,” imbuh Kiai Hasan.
Bagi Cak Nun, Gontor merupakan rumah sekaligus kampung halaman kedua baginya. Pria kelahiran Jombang ini bahagia atas pencapaian Pondok Gontor hingga memasuki usia ke-90 tahun.
"Saya mengucapkan kebahagiaan kepada kampung dan rumah kedua saya ini, Pondok Modern Gontor. Pondok ini benar-benar dibutuhkan untuk menjadi pemantul cahaya Allah bagi seluruh umat Islam dan Republik Indonesia. Kita semua berharap Gontor benar-benar mampu menjawab tantangan umat Islam dan tantangan yang menimpa bangsa Indonesia saat ini," Cak Nun berharap.
"Saya masih ingat KH Imam Zarkasyi sering mengatakan tugas kita menjadi perekat umat. Ketahuilah, kita ini seperti hidup di zaman sebelum Rasulullah, yaitu bersuku-suku dan bermusuhan satu sama lain.
Ia mencontohkan di sebuah daerah yang memiliki ratusan suku, tidak mungkin kepemimpinan lahir di sana jika masing-masing suku egois. Begitu juga dengan umat Islam. Sepanjang masing-masing pihak bersikap egois, tidak mungkin ada satu pimpinan yang bisa diharapkan.
“Ya Allah, jadikanlah rumah dan kampung halaman keduaku ini, Pondok Modern Darussalam Gontor, sebagai utusan-Mu, duta-Mu yang Engkau pandu menjadi satu sistem budaya, satu sistem ilmu, satu sistem sosial, dan satu sistem ideologi, yang tidak berpihak ke timur maupun ke barat, sehingga terpadu di satu titik, menjadi kiblat sejati bagi peradaban yang akan datang,” begitu doa Cak Nun untuk Pondok Gontor.
Ia mengajak khalayak untuk berserah diri kepada Allah, sehingga Allah memberikan rida-Nya. Cak Nun berujar, musik yang mereka aransemen persisnya menuju keridaan Allah, karena itulah hiburan sejati.
“Andaikan tidak ada musik, lagu, atau puisi, maka sesungguhnya hiburan sejati bisa apa saja, asalkan membuatmu lebih mendekat kepada Allah. Itulah hiburan sejati. Maka, senikmat apapun hiburan dunia, tapi jika itu tidak membuatmu dekat kepada Allah, itu sama sekali bukan hiburan, tapi bumerang bagi kita semua," terang Cak Nun.
Ia mengingatkan penonton dan pendengar, semua yang ditampilkan di panggung malam itu tidak ada bunyi, atau kata yang terdengar dan terlihat kecuali membuat semua orang untuk mendapatkan hati yang puas lagi diridai Allah.
Pertunjukan malam diawali dengan penampilan para santri peserta pelatihan dan workshop bersama Cak Nun dan Kiai Kanjeng sehari sebelumnya. Meski hanya berlatih sehari, mereka mampu tampil dengan baik membawakan salawat.
Mereka berkolaborasi dengan Kiai Kanjeng membawakan lagu “Hymne Oh Pondokku”. Menariknya, lagu ini mereka nyanyikan dalam 10 genre musik, antara lain terbangan, keroncong, langgam, rebana, gendang Jawa, reggae, pop, rock, akapela, danswing.
Cak Fuad juga tampil membawakan Syair Abu Nawas khas Gontor diiringi gamelan Kiai Kanjeng. Acara pun makin menarik dengan rentetan lagu-lagu aransemen khas Kiai Kanjeng.
Di tengah-tengah acara, putra bungsu Kiai Hasan, Hamas Arfeddin Khosyatullah, berkesempatan tampil membawakan puisi untuk ayahnya, berjudul “Puisi untuk Kiai”.
Kemudian Cak Nun juga meminta seorang anggota Badan Wakaf Pondok Modern Darussalam Gontor yang sangat dikenalnya, yaitu KH Dawam Saleh, pimpinan Pondok Pesantren Al-Ishlah Lamongan, untuk membacakan sebuah puisi karya Pak Dawam sendiri.
Penampilan malam itu berlangsung empat jam lebih, sangat menarik dan mendidik. Selama itu Cak Nun berinteraksi aktif dengan para penonton melalui sejumlah pertanyaan yang ia lontarkan untuk mereka jawab.
Ada juga yang diminta menyanyikan lagu Islami kesukaan. Cak Nun telah mempersiapkan 30 buah peci khas Kiai Kanjeng sebagai hadiah bagi mereka yang aktif menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.