Oleh: TB Adhi
PADA catatan sebelumnya sudah diulas detil demi detil perkara yang didakwakan kepada Ketua Umum Kadin Jatim La Nyalla Mahmud Mattalitti. Perkara penggunaan dana hibah Kadin Jatim ini menarik diikuti karena kuatnya aroma “pemaksaan kehendak”, mulai dari penyidikan perkara hingga saat memasuki masa persidangan.
Catatan kedua ini melanjutkan uraian beberapa hal terkait lainnya, terutama pada posisi La Nyalla Mahmud Mattalitti (LNM) dalam penggunaan dana hibah serta kinerja/dampak penggunaan dana hibah.
Catatan akan tetap diformat dengan konsep menghadirkan dakwaan jaksa dan fakta apa yang sesungguhnya terjadi. Mari kita kembali ulas.
Pertama, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan bahwa LNM sebagai ketua umum organisasi penerima dana hibah bertanggung jawab mutlak secara formil dan materiil atas penggunaan dana hibah yang diterimanya. JPU menyatakan ini berdasarkan Nota Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dan peraturan lainnya.
Argumen ini pun bisa dibantah. Benar bahwa LNM menandatangani NPHD tiap tahun karena memang dia ketua umum Kadin Jatim. Tidak hanya NPHD, LNM juga menandatangani dokumen yang terkait hubungan/kerja sama dengan pihak lain. Dalam hal ini, LNM sebagai pimpinan tertinggi Kadin Jatim adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap semua aktivitas organisasi.
Tapi tanggung jawab yang dipikulnya adalah tanggung jawab organisatoris, bukan tanggung jawab pidana bila ada staf/bawahannya yang melakukan tindak pidana. Tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi yang harus ditanggung oleh orang yang dipersalahkan telah melakukan suatu perbuatan pidana tersebut.
Ahli dari UGM Prof Edward Omar Syarif Hiariej menegaskan, tanggung jawab pidana tidak terkait dengan siapa yang menandatangani NPHD karena NPHD merupakan hubungan keperdataan, sedangkan tanggung jawab pidana terkait dengan perbuatan masing-masing orang yang telah memenuhi ketentuan pidana.
Logikanya, pimpinan perusahaan tidak bertanggung jawab secara pidana jika kendaraan operasional perusahaan ternyata digunakan staf tanpa sepengetahuannya untuk melakukan tindak pidana, misalnya untuk mengangkut narkoba. Dalam perkara ini, yang bertanggung jawab secara pidana adalah Diar Kusuma Putra (DKP) dan Nelson Sembiring (NS). Keduanya telah menjalani hukuman pidana atas tindakan penyalagunaan keuangan dana hibah.
Kedua, LNM dianggap memperkaya diri sendiri sebesar Rp 1,1 miliar dan memperkaya orang lain dalam hal ini DKP dan NS sebesar Rp 26,6 miliar, sehingga dalam perkara ini terdapat kerugian keuangan negara sejumlah tersebut.
Hal ini pun sudah dipatahkan. Dalam perkara ini, jelas sudah tak ada lagi kerugian keuangan negara. Kerugian Rp 1,1 miliar yang didalilkan oleh JPU karena keuntungan yang diperoleh LNM dari menjual saham Bank Jatim yang dulu pernah dibelinya dengan uang pinjaman dari dana hibah adalah hal yang tidak logis. Perlu diingat pada 2012, peminjaman dana hibah sudah dikembalikan. Dengan demikian, pada 2012, saham Bank Jatim atas nama LNM sudah bukan uang negara, tetapi murni uang pribadi LNM, sehingga keuntungan yang diperoleh dalam penjualan saham-saham pada tahun-tahun berikutnya sudah menjadi hak LNM.
Demikian pula kerugian negara sebesar Rp26,6miliar juga sudah tidak ada lagi karena audit BPKP menyatakan yang harus bertanggungjawab adalah DKP dan NS. Kedua orang itu telah mengembalikan kerugian dimaksud dan telah mempertanggung-jawabkannya secara pidana.
Dampak Program Kadin Jatim
Publikasi perkara ini yang cukup signifikan pada akhirnya memang ada hikmahnya. Publik kemudian tahu bahwa program Kadin Jatim yang didanai Pemprov Jatim untuk mengakselerasi perdagangan antarpulau ternyata berbuah manis dan sangat menguntungkan UMKM.
Data-data terukur Pemprov Jatim, termasuk yang telah disampaikan di dalam persidangan, mengungkapkan fakta adanya peningkatan volume perdangangan antar pulau dari Jatim sebesar Rp 740 miliar. Saksi Sumbangto dari Pemprov Jatim menyatakan bahwa Gubernur Jawa Timur dalam beberapa kesempatan selalu membanggakan hal tersebut serta berterima kasih kepada Kadin Jawa Timur atas peranannya.