Lembaga-lembaga yang menjual reputasi dan kredibilitas ke negara-negara emerging market (negara pinggiran, negara marjinal) ini, seperti kerbau dicucuk hidung.
Tak ada suara membantah, tidak juga menyetujui. Tentu saja, lembaga-lembaga multilateral itu berjuang
menengakkan prinsip-prinsip ekonomi terbuka di segenap sektor ekonomi.
Sementara kebijakan negaranegara industri justru menunjukkan kebijakan menutup diri untuk melindungi kepentingan nasional.
Saat yang sama, keterbukaan ekonomi yang sudah disepakati melalui kesepakatan-kesepakatan bilateral
dan multilateral sulit ditarik kembali.
Dalam lingkup pertarungan ekonomi AS versus RRC, saya menyebut hal ini sebagai kapitalisme korporasi melawan kapitalisme BUMN (negara). Itu wujud perang reputasi-kredibilitas pribadi dan kelompok melawan reputasi-kredibilitas negara.
Di bawah kepemimpinan Xi Jinping, RRC tidak berdiam diri.
Sejak mendeklarasikan diri melawan kebijakan neoliberal melalui pendirian New Development Bank (sebagai lawan Bank Dunia, IBRD), menolak pemakaian dolar AS dalam transaksi perdagangan internasional, mendirikan Asean Infrastructure Investment Bank (lawan Bank Pembangunan Asia, ADB).
RRC memperluas pengaruhnya melalui kerjasama sama perdagangan dan investasi, termasuk membangun jalur-jalur infrastruktur perdagangan untuk meningkatkan volume perdagangan.
Sekaligus menurunkan biaya dan mencegah penggunaan dolar AS serta mengirim ketenaga kerjaannya ke negara tujuan investasi .
Dalam prediksi kalangan ekonom AS, RRC akan melampui posisi ekonomi AS pada tahun 2030. Di Asean, Malaysia siap menerima 20 milyar dolar AS untuk pembangunan infrastruktur kereta api dan moda transportai lain.
Demikian juga dengan Filipina, yang oleh Rodrigo Duterte dipandang sebagai penolong. “Only China
could help,” tegas Presiden Filipina Duterte yang giat memerangi narkoba dengan cara yang
kontroversial di mata Barat.
Di Indonesia, dengan memberi utang luar negeri sebesar 21,982 miliar dolar AS, RRC mengambil posisi negara investor ke tiga setelah Singapura dan Jepang.
Dalam perspektif sistem ekonomi politik Barat yang oleh Stiglitz dipandang telah gagal, maka pertarungan sesama kaum kapitalis (dalam basis individual atau komunal) telah melahirkan situasi perekonomian yang tidak pasti.
Immanuel Wallerstein menulis tentang sistem dunia yang sedang mencari bentuk baru. Belasan buku ekonomi politik yang terbit 2015-2016 merujuk situasi itu sebagai iklim ketidakpastian.