TRIBUNNERS - Presiden Joko Widodo menyoroti industri pertahanan dalam negeri beberapa hari lalu. Presiden memberikan pengarahan agar industri pertahanan Indonesia bisa go international.
Menurut Jokowi, sudah waktunya produk pertahanan nasional mampu bersaing secara kompetitif.
Baru-baru ini, KSAU yang baru di lantik, Marsekal Hadi Tjahjanto juga menyatakan berkomitmen memprioritaskan perbaikan menajemen Angkatan Udara, termasuk mengevaluasi pembelian pesawat.
KSAU memiliki sejumlah target terkait perbaikan di TNI AU. Salah satunya adalah mewujudkan zero accident (tanpa kecelakaan) dalam hal penerbangan di TNI.
Menanggapi hal tersebut Anggota Komisi I DPR RI, Prananda Surya Paloh menilai, itu artinya industri pertahanan nasional diakui tak kalah tanding dengan Industri luar negeri.
“Intinya sederhana, pertama kita harus realistis. Yang saya maksud dengan realistis adalah ada teknologi yang kita bisa buat sendiri, itu nggak ada alasan untuk impor,” ujarnya saat dihubungi, Kamis ( 19/1)
Kendatipun masih belum high tech, pabrik baja, komponen otomotif, dan elektronika, adalah contoh nyata land and sea technology ekosistem industrinya sudah dikuasai nasional.
Menurutnya, meski hal ini naif, tidak masalah untuk sementara waktu beberapa kelengkapan masih didatangkan dari luar, seperti aerospace technology.
Hal ini disebabkan karena untuk industri alumunium, industri penghasil paku keling (rivet) pun, Indonesia belum memiliki pabriknya.
"Apalagi supply chain nasional yang terkait aerospace, mulai dari engine sampai avionics," kata Nanda.
“Semua itu impor, sebab risetnya pun butuh anggaran besar. Saya maksudkan naif adalah jangan juga membohongi diri sendiri. Jangan sampai pesawat dan helikopter canggih buatan negara lain di sebut produk dalam negeri, hanya karena kita hanya merakitnya,” tambahnya.
Dia menandaskan, jika ada yang mengklaim begitu, ia harus diaudit dan diumumkan secara transparan.
Hal ini perlu dilakukan, selain mempertanggungjawabkan dana rakyat, juga untuk mengetahui kekurangan yang perlu diperbaiki dan dievaluasi keberadaannya.
“Begitu juga kalau beli pesawat atau helikopter luar negeri, jangan naif tidak meminta adanya local content. Atau jika tidak, minta adanya bisnis lain, misalnya maintenance, repair, dan overhaul (MRO) atau bengkel bersama melayani pasar Asia. Syukur-syukur invest buat sesuatu disini," cetusnya.
Prananda menuturkan, adalah naif juga jika tidak ada yang namanya "jargon" alih teknologi. Sebab kalau mau alih teknologi kita harus beli lisensi, atau harus melakukan investasi besar-besaran untuk research and development sendiri. Bahkan jika mau kita harus "mencuri" teknologi melalui spionase industri.