TRIBUNNERS - Sekali lagi warga Jakarta menyatakan bahwa mereka dalam memilih tidak bisa diseragamkan.
Meski ada usaha besar dari para paslon dengan menggerakkan berbagai cara namun nyatanya bilik suara berbicara lain.
Setiap masalah yang ada di Jakarta memang unik, belum tentu yang kita pikirkan dengan menggerakkan isu-isu besar dapat menyeragamkan pilihan warga.
Ini terbukti dari hasil pilkada DKI Jakarta yang persebaran suaranya terbagi di tiga paslon.
Hanya saja kisah kampanye negatif, saling serang, hoax dan yang kita takutkan dengan mengankat berbagai isu sektarianisme, konflik berbau sara, etnis, ras, penistaan seperti menutupi ‘keragamaan’ pilihan warga DKI.
Ada juga yang menggunakan justifikasi paslon ini lebih santun, paslon ini pemarah atau paslon ini lebih perhatian pada warga, namun sepertinya tidak mempengaruhi pilihan warga yang sudah pada kebal dengan kerasnya hidup di Ibukota.
Apalagi memberi dampak signifikan pada perolehan suara, karena pergerakan suara cenderung tidak ada yang mendominasi.
Sayangnya ekspresi keberagaman ini hanya bisa kita nikmati setiap 5 tahun sekali, sedih bukan? Karena ada rasa ‘sesuatu bangetz’ ketika nyoblos, seperti mengeluarkan penat, kekecewaan melihat permasalahan di Jakarta yang tak kunjung selesai, seperti banjir, ketakutan atas aksi massa yang tidak bisa ditebak, jauhnya jarak dan habisnya waktu dalam kemacetan, hingga mahalnya ongkos kehidupan.
Di sisi lain, ternyata para pemilih lebih dominan mempertimbangkan pilihannya melalui debat KPU dibanding kampanye terbuka dan blusukan. Para pemilih belum berani mengungkapkan pilihannya di depan umum atau menyatakannya langsung ketika para paslon blusukan, baru berani di bilik suara.
Ini terbukti di kediaman Bapak Djarot tempat mencoblos, tidak serta merta mengartikan warga disana memenangkannya.
Namun jangan salah, hal tersebut telah membuat para pemilih bertemu dan saling berkomunikasi secara tidak langsung atas hasil pengumpulan suara. Reaksi dan tanggung jawab sosial warga, seperti melatarbelakangi dalam mempertimbangkan pilihan, meski dengan isu-isu yang sangat sensitif dan getir antar tetangga dan warga.
Ini terbukti dengan pernyataan paslon 2 yang menyatakan ketidakyakinan atas suara yang diperoleh dengan berbagai isu yang menerpa. Begitu juga paslon 3 terpana dan menganga melihat hasilnya dengan mengatakan diluar ekspetasi.
Ada ketidakpercayaan dalam melihat persebaran suara, dengan melihat hasil perhitungan sementara dan trend netizen dalam menyikapinya di sosial media.
Reaksi ini diperlihatkan dengan berbagai persebaran respon yang mereka rasakan dari hasil kemarin.