Memang sangat kritis menyatakan ini di muka publik, namun kita tidak bisa membohongi. Artinya hikmah ini harus diambil oleh semua paslon dan para calon pemiihnya untuk mempersiapkan lebih baik lagi.
Bahwa penyanderaan pemilih dengan penyeragaman isu tidak begitu ‘mempan’, hanya menyedot sekitar 17% suara.
Benturan keras yang disajikan para paslon telah membentuk pilihan warga semakin rasional, rasa senasib sepenangungan warga DKI. Serta pertimbangan masalah sosial yang riil dirasakan diderah masing-masing.
Mereka ingin segera menyudahinya dengan mencari paslon yang mampu secara massif menjawab keragaman masalah mereka di masyarakat, baik yang berada di ujung sana dan sini Jakarta.
Artinya paslon yang masuk putaran kedua punya tantangan melanjutkan mandat warga yang tersembunyi di balik bilik.
Para pemilih memberi sinyal, baik kepada paslon maupun pemilih lainnya agar mencari paslon yang mampu memberi kebermanfaatan dengan arti seluas luasnya pada warga.
Karena sedari dulu mereka hidup homogen dan mempunyai keragaman sikap, ‘tidak dapat disetir’ alias ‘udah dari sononye’. Ini juga sinyal bagi para pemilih yang mulai bisa berinteraksi secara pasif melalui pemetaan hasil suara warga.
Namun dugaan memanfaatkan isu yang mudah ‘menjadi api’ kedepan kelihatannya masih sangat menggoda untuk digunakan kembali.
Meski sudah dibuktikan di pilkada DKI ‘jaman Pak Jokowi’ dan Pilpres kemarin tidak terbukti. Kita lihat apakah para pemilih dan Netizen masih menggunakan cara ‘tuyul modern’ dengan mengirimkan sentimen negatif melalui sosial media dan media publikasi lainnya.
Masyarakat akan menghitung hari ‘count down 60 days’.
Siapakah yang bisa menjawab persoalan warga DKI secara kongkrit. Kalau boleh warga DKI di ujung sono dan sini bicara begini ‘Buktikan Programmu Dapat Kami Rasakan Langsung Jelang 60 Hari Nyoblos’.
Kedua Paslon tidak mungkin bermain main dan berwacana dalam waktu yang sangat singkat 2 bulan. Perlu aksi terukur dan dapat dirasakan langsung dalam mempertahakan program dan mengkritisi program.
Yang keduanya punya cara meyakinkan masing-masing. Tentunya dalam bingkai keragaman masalah yang terjadi di Betawi, bukan penyeragaman isu. Apakah Paslon Anda Siap?
Sebagai warga DKI, proses kemarin kita hargai dan hormati. Itu adalah pilihan warga DKI ‘kebanyakan’. Dan kita petik hikmah dan pembelajaran. Jangan terlalu menyeragamkan, memudahkan atau menganggap ‘mudah dipengaruhi’ dengan memberi stigma kepada para pemilih.