4. Majelis Hakim memasukan perintah penahanan tanpa batas waktu dalam amar putusan, berisiko memberi pesan kepada publik bahwa Ahok sudah dipenjara dua tahun dan langsung dieksekusi Jaksa Penuntut Umum, tanpa menyebutkan untuk berapa lama Ahok berada dalam tahanan.
5. Kewenangan penahanan pasca pembacaan vonis yang langsung dinyatakan banding, otomatis beralih menjadi wewenang Hakim Pengadilan Tinggi.
Faktanya, hingga saat ini Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta belum mengeluarkan perintah penahanan terhadap Ahok.
Karenanya keberadaan Ahok di dalam tahanan harus dipandang sebagai penyanderaan atas dasar kesewenang-wenangan Majelis Hakim.
6. Sikap anomali Hakim dalam pertimbangan putusan mengenai hal-hal yang meringankan menegaskan bahwa Terdakwa bersikap kooperatif selama dalam persidangan.
Artinya penahanan yang dikeluarkan Majelis Hakim saat vonis dibacakan menjadi kontraproduktif dan tidak compatible sehingga menjadi sebuah anomali.
7. Penggunaan pasal 193 ayat (2) KUHAP sebagai dasar untuk menahan Ahok, dengan alasan selama putusan belum berkekuatan hukum tetap Ahok dikhawatirkan akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, ataupun mengulangi tindak pidana lagi.
Hal tersebut jelas merupakan pertimbangan hukum yang dicari-cari dan melecehkan kejujuran dan ketatan Ahok dalam mengikuti persidangan.
Apalagi saat vonis dibacakan dan banding langsung dinyatakan Ahok, kepentingan pemeriksaan Majelis Hakim sudah selesai sehingga kewenangannya untuk menahanpun sudah tidak ada, karena sudah beralih.
8. Majelis Hakim seolah-olah masih memerlukan pemeriksaan pasca pembacaan vonis, sehingga, melakukan penahanan terhadap Ahok.
Padahal posisi Majelis Hakim berada pada pembacaan vonis, sehingga kepentingan pemeriksaan Majelis Hakim sudah tidak ada lagi.
Karena sudah menjadi wewenang Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta, berdasarkan ketentuan pasal 238 ayat (2) KUHAP.
Penggunaan pasal 197 ayat (2) KUHAP oleh Majelis Hakim juga tidak tepat karena ancaman putusan batal demi hukum sudah dinyatakan tidak berlaku oleh MK.
Sehingga, dengan demikian alasan Majelis Hakim dengan berlindung dibalik ketentuan pasal 197 ayat (2) KUHAP terlalu dicari-cari dan membuktikan bahwa Majelis Hakim tidak mengikuti perkembangan hukum.
9. Majelis Hakim tidak secara utuh mempertimbangkan eksistensi UU No. 1/PNPS Tahun 1965 terkait dengan penerapan pasal 165a KUHP yang kelahirannya melalui pasal 4 UU No. 1/PNPS Tahun 1965.