News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Koordinator TPDI: Ahok Sedang Disandera Kesewenang-wenangan Majelis Hakim.

Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Advokat Petrus Selestinus.

Meskipun telah dijadikan pertimbangan dalam putusannya halaman 609 yang menyatakan;

"Terdakwa seharusnya berusaha untuk menghindari penggunaan kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat merendahkan dan menghina suatu agama sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 4 huruf a Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965".

Namun demikian, Majelis Hakim ketika memeriksa hingga membacakan vonis Ahok, Hukum Acara yang diatur di dalam ketentuan UU No. 1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama diabaikan tanpa dipertimbangkan sama sekali.

Padahal jika kententuan pasal 1, 2, 3 dan 4 (pasal 4 melahirkan pasal 156a KUHP) UU No. 1/PNPS Tahun 1965), diterapkan secara konsekuen, maka perbuatan yang didakwakan kepada Ahok masih sangat prematur.

Karena baru dikualifikasi sebagai tindak pidana.

Manakala Ahok sudah diberikan peringatan dalam bentuk Keputusan Bersama oleh Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama, namun Ahok tetap melanggar.

Mengenai persoalan peringatan terlebih dahulu dan pemidanaan kemudian telah mendapat penguatan dalam putusan perkara Uji Undang-Undang No. 1/PNPS Tahun 1965 terhadap UUD 1945 dalam perkara No. 140/PUU-VII/2009 pada tahun 2009.

Serta dalam perkara No. 84/PUU-X/2012, dimana MK dalam pertimbangannya menyatakan UU No. 1/PNPS Tahun 1965 masih diperlukan dan khusus mengenai pasal 156a penerapannya berdasarkan pada asas ultimum remedium.

Artinya Ahok baru bisa dikatakan telah melakukan tindak pidana manakala Ahok sudah diberikan peringatan terlebih dahulu oleh Jaksa Agung, Mendagri dan Menteri Agama, namun tetap melanggar.

Ini adalah hukum positif yang lolos dari uji UU terhadap UUD 945 sebanyak dua kali.

Penahanan dan alasan penanahan Majelis Hakim terhadap Ahok sesungguhnya hanya ingin memberi lable negatif kepada Ahok bahwa Ahok seorang penista agama yang harus dihukum sebelum hukuman dijatuhkan.

Padahal kalau hanya menahan untuk kepentingan pemeriksaan, mengapa sejak penyidikan dan penuntutan hingga Majelis Hakim membuka persidangan, Ahok tidak dikenakan penahanan.

Mengapa Majelis Hakim hingga pembacaan putusan masih mengakui bahwa Ahok bersikap kooperatif selama persidangan (tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti dan tidak mengulangi perbuatan yang disangkakan atau didakwakan).

Namun demikian, mengapa Majelis Hakim seakan-akan serta-merta kehilangan kepercayaan terhadap Ahok dengan memerintahkan Ahok ditahan tanpa batas waktu.

Jika memang penahanan pasca-vonis dibacakan bertujuan untuk kepentingan pemeriksaan yang sifatnya sementara dan limitatif, mengapa Majelis Hakim tidak membuat Penetapan Perintah Panahanan di luar amar putusan.

Mengapa perintah panahanan tanpa batas waktu itu dimuat bersamaan dengan amar putusan pemidanaan dua tahun penjara dan diumumkan ke publik.

Antara kebutuhan penahanan di satu pihak dan persyaratan obyektif dan subyektif untuk menahan Ahok saat vonis dibacakan sangat tidak compatible

Karena terdapat nuansa memenuhi dendam pihak ke tiga, nuansa untuk merusak nama baik Ahok terutama pertimbangan subyektif kekhawatiran akan Ahok melarikan diri, merusak barang bukti, dan mengulangi perbuatan yang didakwakan.

Sementara pada saat bersamaan Majelis Hakim dalam pertimbangan untuk hal-hal meringankan mengakui Ahok bersikap kooperatif sebagai unsur esensiil terkait setia menghadiri setiap sidang, tidak menghilangkan barang bukti.

Halaman
1234
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini