Oleh: M. Cholil Nafis, Ph D.p
TRIBUNNERS - Hari ini saya menghadiri anugerah gelar tertinggi akademik kepada KH Ma'ruf Amin sebagai Guru Besar Mu'amalah Syar'iyah di Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang.
Kiai Ma'ruf yang juga Ketua Umum MUI itu memberikan tema orasi Ilmiah, "Solusi Hukum Islam (Makharij Fiqhiyyah) Sebagai Pendorong Arus Baru Ekonomi Syariah di Indonesia".
Tradisi kiai-kiai sepuh Nadhlatul Ulama akhir-akhir ini banyak yang mendapat gelar doktor melalui proses pengembangan ilmu keagamaan dan pengabdian di masyarakat.
Di antara mereka ada Kiai Sahal Mahfudz, Kiai Mustafa Bisri, Kiai Tholhah Hasan, termasuk Kiai Ma'ruf Amin sebelum beliau dianugerahi gelar profesor.
Namun para generasi muda NU banyak yang mendapat gelar doktor dan profesor melalui proses formal dan normal.
Fenomena warga NU mulai masuk jalur formal, baik melalui proses formal atau informal, karena capaian keilmuan yang dirintis di masyarakat menunjukkan sistem pendidikan di lingkungan NU mampu menjaga tradisi keilmuan pesantren sekaligus dapat mengakomudasi perkembangan modernitas pendidikan.
Kini kita bisa menyaksikan beberarapa pesantren yang menerapkan duel sistem pendidikan sekaligus, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum, pendidikan tradisional dan pendidikan modern.
Para alumni pondok pesantren sudah menyebar dan banyak memberi manfaat kepada masyarakat di segala sektor.
Banyak lembaga pendidikan yang hendak meniru sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan berasrama.
Namun, semua itu tak bisa sepenuhnya dapat menyamai pesantren. Sebab ada sesuatu di pendidikan pesantren yang tak mudah ditiru, selain sebagai tempat pendidikan karakter yang diarahkan langsung oleh pengasuh, di sana ada kekuatan riyadhah bathiniyah (upaya spiritual) yang dilakukan oleh pengasuh dan para guru.
Sehingga lulusan pesantren mendapat barokah (tambahan ilmu dan kebaikan dari Allah SWT) dan berperan maksimal di masyarakat.