Teladan agung tersebut seharusnya mampu menyentuh kesadaran intelektual dan imajinasi seorang hamba. Tindakan Nabi Ibrahim merupakan simbol kemenangan seorang manusia atas nafsu hewaniah, ego kecil, romantisme kepentingan pribadi, dan sentimentalitas cinta kasih lokal.
Manusia sebenarnya telah mengenal konsep “qurban” sejak dahulu; bahkan sejak masa Habil dan Kabil, dua putra Nabi Adam yang diperintahkan “berkurban” untuk menguji ketulusan mereka berdua di hadapan Allah.
Dari kisah Habil dan Kabil bisa diambil pelajaran bahwa Allah menerima “qurban” yang dipersembahkan seseorang bukan dari bentuk lahiriah sesuatu yang dikurbankan, melainkan dari ketulusan jiwa yang berkurban.
Semangat berkurban yang dicontohkan Nabi Ibrahim bukanlah perbuatan untuk mengurbankan manusia lainnya demi tujuan dan keuntungan sesaat yang keji sebagaimana dilakukan para penguasa lalim sepanjang sejarah, melainkan suatu sikap untuk menyerahkan sesuatu yang dititipkan oleh Allah.
Ketika Allah telah dinomorsatukan dalam kehidupan, maka demi mempertahankan aqidah yang mengharuskan kejujuran, keadilan, dan ketulusan, apapun siap dikurbankan, entah materi, pangkat, jabatan, nama baik, dan nyawa sekalipun.
Hal itu telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim yang mengajarkan kepasrahan dan kerelaan demi mengesakan Allah. Dalam kehidupan modern, peristiwa yang dialami Nabi Ibrahim sering terlupakan.
Padahal, dari sana bisa ditarik pelajaran berharga bahwa Allah sangat mengasihi umat manusia karena manusia tidak boleh dikurbankan dan diganti dengan hewan.
Dengan semangat Idul Qurban, manusia harus mampu “menyembelih” watak buruk dan sifat kebinatangan yang ada dalam dirinya; seperti rakus, serakah, zalim, menindas, dan tidak mengenal hukum dan norma.[]
Maman Imanulhaq, Ketua Lembaga Dakwah PBNU/ anggota komisi 8 DPR-RI Fraksi PKB