Oleh KH Maman Imanulhaq
Hakikat Idul Adha adalah kembali kepada pemahaman nilai qurban yang berpangkal dan konsep keimanan dan kemanusiaan, dua pilar terpenting peradaban manusia.
Kata “qurban” mengandung tiga makna yang sarat dengan pelajaran moral (i‘tibar) yang bisa membekali manusia untuk memperjuangkan nilai-nilai Ilahiah serta kemanusiaan, terutama bagi bangsa Indonesia yang saat ini diuji oleh sindikat penyebar kebencian berbasis SARA seperti yang dilakukan SARACEN.
Makna Pertama
Pertama, qurban bermakna taqarrub, yakni mendekatkan diri kepada Allah. Kedekatan antara hamba dan pencipta (khalik)-nya tidak mungkin terjadi jika sang hamba berjiwa kotor, berhati keras, dan berpikiran jahat.
Untuk itu, ketika takbir Idul Adhadatang menyapa relung batin manusia, maka kesadaran nurani yang selama ini tertutup nafsu, ambisi, dan kepentingan pribadi harus tergugah.
Allah Maha Dekat yang kedekatannya melebihi urat nadi manusia hanya bisa didekati dengan keseriusan berzikir dan keinginan kuat membenahi sikap keberagamaan yang selama ini telah ternodai oleh kesombongan, ketakaburan, dan kepongahan.
Zikir kepada Allah (dzikrullâh) adalah upaya untuk menyucikan hati, menenteramkan hati, dan mengkhusukkan kalbu sehingga seseorang mampu berendah hati serta berintrospeksi terhadap kesalahan dan kekeliruan sendiri tanpa harus mencari kesalahan orang lain.
Kecenderungan manusia untuk melakukan kemungkaran dan kezaliman bisa diminimalisir, bahkan ditepis dengan zikir. Dengan zikir, hati yang selama ini gelap dan tersesat akan kembali disinari nur Ilahi sehingga prasangka, dendam, dan amarah akan melembut menjadi cinta kasih.
Ketika Kita diterpa musibah dan bencana silih berganti, hati yang gelap pun bertanya, “Di manakah pertolongan Allah?” Pertanyaan ini muncul dari keraguan dan prasangka terhadap Allah. Selama ini, orang yang mengharap pertolongan Allah justru sering berbuat aniaya terhadap dirinya dan orang lain (zalim).
Manusia yang hatinya gelap juga gemar menghujat ajaran kelompok lain yang dirasa berbeda, tetapi perilaku serta ajaran yang dihujat justru tumbuh subur dalam aliran darah yang menghujat.
Orang seperti itu sering mengutuk, mencaci, dan menghina orang lain, tetapi diam-diam (sadar atau tidak) ia ternyata menggantikan kemungkaran dan kebiadaban orang yang dikutuknya.
Jiwa yang kosong dari dzikrullâh acapkali senang dalam suasana perpecahan, bukan kebersamaan. Ia tenggelam dalam belenggu perang saudara, bukan penyembuhan luka bangsa.
Perpecahan dan perang saudara tentu saja mengakibatkan kesengsaraan batin, selain juga merupakan tabungan dosa yang menjadi tirai penutup kedekatan seseorang kepada Allah.