News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Melantangkan Suara Hati Novel

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Poster penyidik senior KPK Novel Baswedan dibentangkan saat berlangsung aksi teaterikal Sekolah Anti Korupsi (Sakti) ICW dalam rangka 120 hari peristiwa penyiraman air keras, di depan gedung KPK, Jakarta, Rabu (9/8/2017). Dalam aksinya mereka meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. TRIBUNNEWS/HERUDIN

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

TRIBUNNEWS.COM - Anggap saja tulisan ini sebagai pelantang suara hati Novel Baswedan, penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang nasibnya teraniaya, “sudah jatuh tertimpa tangga pula”. Sudah menjadi korban teror, dan matanya terancam buta, terancam masuk penjara pula.

Adalah Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman yang melaporkan Novel ke Polda Metro Jaya, Rabu (13/8/2017), dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Pelaporan bermula dari surat elektronik (e-mail) Novel yang dikirimkan pada Selasa (14/2/2017). Aris meradang karena disebut Novel tak punya integritas dan sebagai Dirdik terburuk sepanjang sejarah KPK.

Novel dianggap melanggar Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ancaman hukumannya enam tahun penjara.

Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pun telah menerima Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) No. 11995/VIII/2017/Datro tertanggal 28 Agustus 2017, Kamis (31/8/2017). Artinya, kasus dugaan pencemaran nama baik oleh Novel ini sudah masuk tahap penyidikan. Novel tersangka?

Habis Aris, terbitlah Erwanto Kurniadi. Mantan penyidik KPK yang kini menjabat Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri pun melaporkan Novel ke Polda Metro Jaya atas tudingan pencemaran nama baik, Selasa (5/9/2017), lantaran pernyataan Novel yang menganggap penyidik KPK yang berasal dari Polri memiliki integritas rendah.

Atas laporan itu, polisi bergerak cepat. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Setyo Wasisto berdalih, Polri tak memedulikan proses hukum tersebut akan berdampak pada citra yang selama ini dibangun. Penyidik hanya fokus mengusut perkara berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

Jika ada tindak pidana dalam suatu laporan, maka akan ditindaklanjuti. Sebaliknya, jika dalam penyelidikan tak terbukti ada pidana, maka akan dihentikan (Kompas.com, Kamis 7/9/2017).

Sebaliknya, terhadap kasus teror yang menimpa Novel pada 11 April 2017, selama hampir lima bulan berlalu, polisi seakan masih jalan di tempat. Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Kombes Martinus Sitompul, Kamis (7/9/2017), berdalih, ada fakta-fakta yang belum bisa menjadi bahan dalam proses hukum.

Ada yang menilai, di tengah kondisi Novel yang tak berdaya, sedang menjalani pengobatan di negeri orang, pelaporan oleh Aris dan Erwanto tersebut tak etis dan mengesampingkan hati nurani serta jauh dari rasa kemanusiaan dan keadilan. Namun, Novel mencoba tetap tegar.

Email Novel ke Aris yang juga dikirim ke personel KPK lainnya itu ibarat sebuah protes. Bagaimana bisa sebuah protes dipidanakan?

Menurut Novel, email itu merupakan respons atas ketidaksetujuan para pegawai KPK. Email itu bukan berisi pendapat pribadi, melainkan aspirasi para pegawai yang ditulis kembali olehnya selaku Ketua Wadah Pegawai KPK.

Konon salah satu tujuan berhukum adalah menciptakan keadilan. Hukum dan keadilan ibarat dua sisi mata uang, yang mestinya selalu seiring sejalan. Dalam kesendiriannya di Singapura, barangkali dalam hati Novel bertanya, “Adilkah polisi memperlakukan saya? Kasus teror yang terjadi hampir lima bulan lalu belum juga ada titik terang, kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan kemarin sore kok diusut cepat?”

Mungkinkah lambannya penanganan kasus teror Novel ini karena ia pernah menyebut ada jenderal polisi terlibat? Ataukah selama ini Novel yang semula berasal dari kepolisian dianggap “anak nakal”, tak bisa dikendalikan? Tercatat, misalnya, ia pernah menyidik mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo dalam kasus Simulator SIM yang berujung di penjara.

Ingat Novel, ingat pula Chairil Anwar. Dalam puisinya berjudul “Aku” (1943), Chairil menulis, “Aku ini binatang jalang / Dari kumpulan terbuang”. Novel sepertinya memang hendak dibuang, disingkirkan, karena jalang, tak bisa “dijinakkan”.

Seperti Chairil Anwar yang gaya puisinya lain daripada gaya puisi penyair-penyair seangkatannya, Angkatan 45, sehingga disebut sebagai “pemberontak”, barangkali Novel pun punya idealisme tersendiri yang lain daripada penyidik-penyidik KPK lainnya, sehingga mungkin pula dianggap sebagai “pemberontak”, dan sebagai “pemberontak” ia patut disingkirkan.

Novel adalah salah satu ikon KPK. Pelaporan atas Novel barangkali juga dimasudkan untuk membenturkan KPK dengan Polri, meski menurut Irjen Setyo Wasisto, hubungan Polri dengan KPK tetap baik-baik saja.

Setelah dengan Polri, KPK juga coba dibenturkan dengan Kejaksaan Agung. Koordinator Presidium Nasional Jaringan Islam Nusantara (JIN) Razikin Juraid, Rabu (6/9/2017), melaporkan Ketua KPK Agus Rahardjo ke Kejaksaan Agung. Agus dilaporkan karena saaat menjabat Ketua LKPP diduga terlibat dalam kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk elektronik atau e-KTP.

Seperti Chairil Anwar yang tetap bertahan di Jakarta kendati hidup miskin dan gelandangan; dan menolak kembali ke keluarganya di Indragiri Hulu, Riau, untuk hidup berkecukupan karena ayahnya, Toeloes, seorang bupati, dan semua itu demi idealismenya untuk menjadi penyair besar, kita berharap Novel Baswedan pun demikian, tetap mempertahankan idealismenya, menolak kompromi, di tengah penderitaannya berobat di Singapura. Kita yakin setelah “badai” ini berlalu Novel akan menjadi sosok yang lebih besar.

Seperti Chairil Anwar, barangkali Novel pun bergumam, “Biar perluru menembus kulitku / Aku tetap meradang menerjang / Luka dan bisa kubawa berlari / Berlari / Hingga hilang pedih perih / Dan aku akan lebih tidak perduli / Aku mau hidup seribu tahun lagi.

Hidup yang cuma sementara ini memang harus diisi dengan makna, salah satunya dengan menjadi pendekar antikorupsi seperti Novel, karena seperti kata Chairil Anwar dalam puisinya, “Derai-derai Cemara” (1949), “Hidup hanya menunda kekalahan” dan “Diponegoro” (1943), “Sekali berarti / sudah itu mati”. Itulah!

Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini