TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tahun 2017 dapat dikatakan merupakan tahun terbanyak bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan upaya penindakan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi.
Tidak kurang dari 15 operasi tangkap tangan (OTT) dilakukan oleh KPK dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi. Bila dirata-ratakan, berarti dalam setiap bulannya, KPK melakukan aksi OTT lebih dari satu kali.
Sebuah intensitas yang cukup tinggi, mengingat upaya OTT terbilang padat akan sumber daya.
Upaya represif yang dilakukan oleh KPK tentu patut mendapatkan apreseasi, mengingat korupsi merupakan musuh bersama bagi rakyat Indonesia sehingga harus dilakukan secara all out.
Betapapun demikian, upaya penindakan yang dilakukan tersebut tetap tidaklah sunyi dari kekurangan sehingga secara lebih luas patut memperhatikan berbagai aspek terutama aspek kemanfaatan sebagaimana perkembangan di dalam ilmu hukum pidana modern yang mulai mengarah kepada doktrin tiada pidana tanpa kemanfaatan.
Asas tersebut sejatinya juga telah kita adopsi, menyusul sikap Indonesia yang turut meratifikasi United Nation Convention Against Corruption 2003 melalui Undang-Undang No.7 Tahun 2006. UNCAC 2003 pada galibnya menitikberatkan pemberantasan korupsi pada tindakan yang bersifat pencegahan berikut recovery aset.
Dengan mengedepankan upaya pencegahan berikut recovery aset dari para pelaku korupsi, proses pemidanaan bukanlah upaya penindakan yang berada di depan melainkan di belakang atau bersifat terakhir (ultimum remedium).
Di dalam praktiknya, memang pengaturan undang-undang yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi memerlukan harmonisasi.
Sebab, dengan adanya pengembalian kerugian negara, berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Lantas bagaimana kemudian dengan sikap Indonesia yang telah meratifikasi UNCAC 2003 tersebut ?
Bukankah dengan meratifikasi konvensi tersebut berarti sudah seharusnya politik hukum dan sikap Indonesia secara nasional mengacu dan menundukkan diri terhadap ketentuan-ketentuan yang tercakup di dalam konvensi ?
Idealnya memang demikian.
Namun, harmonisasi terhadap peraturan yang berkenaan dengan pemberantasan korupsi nampaknya agak telat dilakukan.
Barangkali, faktor sosial di masyarakat yang memandang bahwa pelaku korupsi harus dihukum seberat-beratnya menjadi penyebab upaya represif justeru lebih populis.
Pemikiran ini di dalam konsep pemidanaan lebih cenderung mengadopsi teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorian) yang lebih banyak berkembang di abad ke 18.
Dalam konteks retribusi, dimana pemidanaan lebih dititikberatkan kepada pembalasan terhadap pelaku kejahatan, strategi yang dilakukan dalam rangka untuk memberikan efek jera kepada para koruptor bisa jadi merupakan langkah yang ideal.
Namun, bila dikaitkan dengan lahirnya UNCAC 2003 yang menyiratkan bahwa konsep pembalasan sebagai instrumen untuk memberikan efek jera terhadap pelakunya tidak berhasil, tolak ukur keberhasilan dari upaya-upaya represif secara objektif juga perlu mengacu kepada persoalan recovery aset atau pengembalian kerugian negara sebagai parameternya.
Toh, pemikiran dalam hal tindakan pencegahan juga dilandasi kepada sikap frustasi akibat dari dampak pemberian efek jera juga tidak mampu mengurangi tingginya angka korupsi.
Situasi tersebut pada akhirnya kian mendorong munculnya konsep utilitarian dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi, dimana yang lebih dikedepankan adalah kesejahteraan masyarakat sebagai pencapaian dari tujuan pencegahan.
Pengembalian kerugian negara dalam konteks pemberantasan korupsi, di samping pemberian efek jera, memiliki peran yang lebih penting guna mendukung sektor pembangunan yang kini tengah digalakkan.
Di dalam langkah penindakan, upaya OTT yang dilakukan KPK seringkali menjadi sorotan karena nilai suap dari pejabat atau nilai proyek yang menjadi lahan korupsi tersebut jumlahnya tak signifikan.
Beberapa kalangan yang sinis terhadap KPK menyatakan, KPK melakukan “OTT recehan”, sehingga mereduksi posisi KPK yang semestinya lebih berperan sebagai lembaga supervisi bagi lembaga penegak hukum konvensional dalam hal ini Kepolisian dan Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi.
Namun, argumentasi tersebut disanggah KPK dengan mengatakan, yang dilakukan KPK merupakan bentuk yang tak pandang bulu, zero tolerance, terhadap apapun perbuatan yang dinamakan korupsi.
Isu yang muncul di tengah-tengah upaya represif tersebut adalah, penegakkan hukum sebagai upaya untuk memberikan efek jera para koruptor yang di satu sisi dihadapkan pada persoalan manfaat yang didapat bagi negara untuk kesejahteraan rakyatnya.
Kita tidak tahu, seberapa efektifnya upaya OTT bila dikaitkan dengan penghematan anggaran sekaligus seberapa tingkat keberhasilan OTT bila diukur dari jumlah hasil kerugian negara yang terselamatkan.
Belum juga dapat dirinci berapa anggaran yang dibutuhkan dalam sebuah operasi tangkap tangan, dan apakah misalnya upaya OTT tersebut sudah cukup efektif dalam hal pelaksanaan pemberantasan korupsi senilai ratusan juta, misalnya dalam kasus proyek dana desa.
Bagaimana justru dengan upaya penindakan lainnya, misalnya di sektor pengadaan barang jasa yang lebih membutuhkan perhatian.
Atau bahkan, kasus-kasus lain yang mangkrak dengan nilai kerugian negara sebesar Rp191 miliar sesuai audit BPK, yang sama sekali tidak terlihat ada pergerakan dari KPK.
Manfaat bagi negara tentu adalah manfaat riel yang dapat dirasakan bagi kesejahteraan masyarakat.
Jadi bukan manfaat yang didapat dengan memenjarakan para koruptornya semata. Manfaat dalam sisi efek jera, yes.
Tapi tak ketinggalan, tentunya harus diimbangi oleh pendapatan negara dalam hal mengembalikan kerugian yang sempat hilang.
Upaya-upaya ini tentunya membutuhkan strategi pemberantasan korupsi yang tidak hanya dilakukan melalui upaya OTT.
Tanpa diimbangi dengan strategi pengembalian keuangan, hakikatnya negara merugi, defisit anggaran, namun tak ada manfaat yang didapat.
Oleh Anggota Komisi III DPR RI/ Sekretaris Fraksi Demokrat, Didik Mukrianto