News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Apalah Arti Sebuah Nama

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Karyudi Sutajah Putra.

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

TRIBUNNEWS.COM - "What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet," kata William Shakespeare (26 April 1564-23 April 1616), pujangga terbesar Inggris, yang artinya kurang lebih, “Apalah arti sebuah nama? Andaikata kita memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi.”

“Sesungguhnya, pada hari kiamat nanti, kalian akan dipanggil dengan nama-nama kamu dan nama ayah-ayah kamu; maka buatlah nama yang baik bagi diri kamu.” (H.R. Abu Dawud).

Bagi seorang Muslim, nama adalah doa sekaligus harapan. Memberikan nama pada anak berarti kita memberikan citra awal tentang diri anak yang suatu ketika diharapkan ia akan mewujud menjadi pribadi yang sesuai dengan makna yang terkandung di dalam namanya. Di sisi lain, nama juga bisa menjadi sarana bagi anak untuk memahami bagaimana orang lain atau lingkungan memandang sosok dirinya.

Untuk meneguhkan identitas Islam, kaum Muslim dianjurkan menggunakan nama Allah dengan menambah kata ‘abd (hamba) sebagai penegasan atas penghambaannya kepada Allah SWT.

Dianjurkan pula menggunakan nama Rasul sebagai penegasan atas ketaatannya kepada Rasul, misalnya Muhammad. Dengan mengikatkan namanya dengan Allah, Rasul atau makna lain yang mewakili fitrah manusia, anak diharapkan senantiasa terasosiasi dengan makna-makna kebenaran dan kebaikan yang akan menjadi dasar identifikasi dirinya.

Di sinilah terjadi dikotomi atau polarisasi terkait nama antara paradigma barat, yang diwakili William Shakespeare yang menganggap nama tak ada artinya, dan paradigma Islam yang menganggap nama itu sangat bermakna, bahkan merupakan doa sekaligus harapan.

Di antara dikotomi tersebut, kini muncul “blok” baru, yakni “nama lokal”. Seperti diberitakan, DPRD Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, akan menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pelestarian Budaya Lokal pada 2018 ini. Salah satu yang akan diatur dalam Raperda yang merupakan inisiatif DPRD ini ialah soal pemberian nama anak.

Melalui perda ini kelak, setiap orangtua di Bumi Intanpari diimbau tidak memberikan nama kepada anaknya secara asal-asalan. Nama anak juga diimbau tidak terkontaminasi budaya Barat alias kebarat-baratan.

“Fenomena yang ada saat ini, banyak orangtua yang memberikan nama ke anaknya mengandung budaya Barat. Cari saja, nama Sumanto di era modern ini sudah sangat jarang. Padahal, di dalam budaya Jawa itu banyak sekali nama yang layak, seperti di tokoh pewayangan. Jadi tak harus memberikan nama ke anaknya dengan pengaruh budaya Barat. Ini bagian melestarikan budaya Jawa,” kata Ketua DPRD Kabupaten Karanganyar Sumanto (Solopos.com, Jumat, 29 Desember 2017).

Sumanto tidak mempersoalkan pemberian nama yang ke-Islam-Islaman, meski nama yang ke-Islam-Islaman tersebut jelas berbeda dengan “nama lokal” semacam Paijo, Pariyem, Uriyah, Soimah, Sutanti Anggraeni dan sebagainya. Mungkin karena Islam merupakan agama mayoritas di Karanganyar bahkan Indonesia, dan nama-nama ke-Islam-Islaman pun sudah familiar di telinga masyarakat Karanganyar, sehingga hal tersebut tidak dipersoalkan.

Sumanto bahkan menganjurkan para orangtua menamai anaknya dengan nama-nama tokoh pewayangan. Padahal, dunia pewayangan yang induknya Ramayana dan Mahabarata berasal dari budaya India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Mungkin karena pewayangan sudah lama sekali masuk ke Karanganyar, atau Jawa dan Bali pada umunya, bahkan jauh sebelum Islam datang ke Nusantara, sehingga hal tersebut pun tidak dipersoalkan, bahkan menjadi anjuran.

Dalam konteks ini mungkin sudah terjadi keberterimaan antara yang “lokal berbau Islam” dan yang “lokal berbau Hindu”.

Pertanyaannya, kalau “nama lokal” yang dianjurkan itu tidak mengandung makna, semisal “Paijo” atau “Pariyem”, lalu apa bedanya dengan nama yang kebarat-baratan, karena tohsama saja dengan “tidak mengandung makna”. Lain halnya bila nama lokal tersebut misalnya, Endah, Elvi, Widya, Slamet, Sugeng, Raharjo, Bagyo, Agung, Turah, Linuwih, Sumarah, Sasmito, dan sebagainya yang sarat makna, sebagaimana nama-nama yang ke-Islam-Islaman, karena nama adalah doa sekaligus harapan.

Ada baiknya bila di dalam perda itu kelak dianjurkan agar nama-nama lokal yang digunakan adalah yang mengandung makna, atau boleh juga nama-nama tokoh pewayangan yang karakternya baik seperti Bima, Puntadewa, Srikandi, Semar dan sebagainya, jangan tokoh pewayangan yang karakternya tidak baik semacam Rahwana, Sengkuni, dan sebagainya.

Pertanyaan berikutnya, di dalam perda lazimnya ada sanksi bagi pihak yang melanggarnya. Lalu, sanksi semacam apakah yang hendak dikenakan kepada para orangtua yang menamai anaknya tidak dengan nama-nama lokal? Apakah hanya stigma bahwa mereka tidak melestarikan budaya lokal, atau ada sanksi lain yang lebih keras?

Bila tanpa sanksi, diyakini perda tersebut hanya akan menjadi “macan kertas”. Apalagi, nama-nama yang kebarat-baratan semacam “Michelle”, “Ronald”, “Kevin” dan sebagainya tengah menjadi “trend” dan diprediksi akan terus menjadi “trend”, semacam gagah-gagahan atau gengsi-gengsian. Bila menggunakan nama lokal semacam “Tukul” atau “Parto” maka akan dianggap “ndeso” dan akan menjadi beban tersendiri bagi anak.

Atau lebih baik tak usah diatur dengan perda,toh kini nama-nama ke-Islam-Islaman juga sedang menjadi “trend”, dan itu tidak dipersoalkan Sumanto. Bila sudah demikian mungkin ada benarnya ungkapan William Shakespeare di atas.

Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini