Oleh : Syamsuddin Radjab
PASCAPUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 53/PUU-XV/2017 terkait verifikasi parpol menimbulkan polemik ditengah masyarakat.
Verifikasi parpol yang diatur dalam ketentuan Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum oleh MK dinyatakan bertentangan dengan UUDN RI 1945 dan tidak mengikat secara hukum.
Konsekuensi putusan MK itu menyebabkan semua parpol peserta pemilu 2019 baik parpol lama maupun baru harus diverifikasi ulang tanpa diskriminasi dan perlakuan pembedaan serta meneguhkan kedudukan yang sama dalam partisipasi pemerintahan dan pengelolaan negara yang dijamin konstitusi.
Beberapa hari terakhir, KPU, Bawaslu, DKPP, komisi II DPR RI dan Kemendagri menggelar rapat intensif menindaklanjuti putusan MK tersebut agar tahapan pemilu yang telah dijadwalkan KPU tidak terganggu termasuk soal verifikasi faktual semua parpol.
DPR dan Pemerintah pada Selasa (16/1) di gedung DPR, Senayan, Jakarta, cenderung bersepakat bahwa parpol lama tidak perlu diverifikasi dan cukup memakai data sistem informasi partai politik (Sipol) sebagai dasar penetapan peserta pemilu dengan alasan ketersediaan waktu dan anggaran.
Baca: Pengamat: Jangan Ngeles, KPU Harus Adil, Verifikasi Semua Parpol Peserta Pemilu Seperti Putusan MK
Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo dan ketua komisi II DPR, Zainuddin Amali dipelbagai media menunjukkan keengganan pelaksanaan verifikasi faktual terhadap partai lama dengan alasan sama, soal waktu dan anggaran.
Sementara KPU sebagai penyelenggara pemilu bertekad akan melaksanakan putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
Perbedaan pandangan itu dapat dipahami karena DPR dan pemerintah hanya melihat pada sisi kemudahan dan beban yang muncul atas putusan MK sementara KPU terikat secara norma hukum sebagai penyelenggara pemilu yang merupakan bagian dari tugas dan wewenangnya sesuai ketentuan Pasal 12 dan Pasal 13 UU Pemilu.
Dengan dibatalkannya Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) UU Pemilu oleh MK mewajibkan semua parpol harus diverifikasi secara faktual.
Verifikasi faktual meliputi kepengurusan (75% di tingkat Provinsi dan 50% di tingkat Kabupaten/Kota), keterwakilan 30% perempuan, keanggotaan dan kepunyaan kantor parpol.
Argumen Mendagri yang mengatakan bahwa Sipol sama saja dengan verifikasi faktual merupakan argumen sesat dan tidak berdasar.
Demikian halnya yang disampaikan ketua komisi II DPR yang menyamakan Sipol dengan verifikasi faktual.
Ketua komisi II DPR, Zainuddin Amali, bahkan mengatakan (16/1), verifikasi faktual tidak perlu dilaksanakan karena tidak ada dalam ketentuan UU Pemilu.
Atas argumen kedua pejabat negara tersebut, beberapa hal perlu diperhatikan sebagai berikut:
Pertama, Putusan MK itu bersifat final dan mengikat (Pasal 10 ayat (1) UU MK) secara hukum adalah wajib sejak selesai dibacakan didalam sidang terbuka untuk umum pada 11 Januari 2018. Dan hanya MK yang diberikan kewenangan oleh UU untuk menafsirkan pasal atau UU yang dinilai bertentangan dengan konstitusi, dan Pasal 173 UU Pemilu telah ditafsir dan diputus oleh MK sehingga semua pihak yang berkepentingan dengan putusan itu harus tunduk dan patuh.
DPR dan Pemerintah tidak boleh lagi menafsirkan sesuatu yang telah diputus oleh MK. Apa yang disampaikan oleh Amali dan Thahjo diatas tidak dapat dijadikan acuan dalam pelaksanaan pemilu oleh KPU. Terlebih, KPU dalam penyelenggaraan pemilu bersifat mandiri dan independen.
Kedua, pada pokonya putusan MK menghendaki perlakuan yang sama dalam proses verifikasi parpol peserta pemilu baik parpol lama maupun baru tanpa diskriminasi. Artinya, verifikasi administratif (dokumen persyaratan) dan verifikasi faktual (uji kebenaran dokumen persyaratan) parpol baru harus sama perlakuannya terhadap parpol lama.
Ketiga, hal yang harus diverifikasi oleh KPU adalah keseluruhan persyaratan partai politik peserta pemilu yang diatur dalam ketentuan Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu yang terdiri dari 9 (sembilan) persyaratan.
Keempat, dari kesembilan persyaratan tersebut ada yang tidak perlu diuji kebenarannya, ada yang harus diuji kebenarannya di lapangan untuk kesesuain data administratif yang telah disampaikan ke KPU berupa data fisik (berkas kertas) maupun melalui Sipol dengan sistem online.
Kelima, perlu dipertegas, Sipol hanya alat bantu untuk memudahkan pengecekan dan pencocokan KPU sesuai dengan persyaratan sebagai calon parpol peserta pemilu. Keputusan Bawaslu (15/11/2017) telah tegas menyatakan bahwa Sipol tidak memiliki dasar hukum dan bukan instrumen pendaftaran sesuai ketentuan UU Pemilu. Jadi, tidak tepat jika mempersamakan Sipol dan verifikasi faktual sebagaimana argumen Mendagri diatas.
Dasar hukum
Membaca persyaratan parpol sebagai peserta pemilu tidak hanya melihat ketentuan Pasal 173 UU Pemilu semata, tetapi juga harus melihat ketentuan pasal sebelum dan sesudahnya yang mengatur persyaratan dari Pasal 172 sampai Pasal 180 UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum dan peraturan turunannya termasuk ketentuan yang diterbitkan KPU.
Persyaratan yang tidak memerlukan verifikasi faktual seperti status badan hukum dan nama, lambang dan tanda gambar parpol, AD/ART, dan rekening resmi parpol tetapi cukup disampaikan ke KPU dengan dokumen asli bercap instansi pemerintah atau lembaga yang berhak untuk itu.
Sementara persyaratan lain, membutuhkan pengecekan ke lapangan atau verifikasi faktual dalam rangka uji kebenaran seperti kepengurusan, keanggotaan, persentase 30% perempuan dan kantor. Dalam UU Pemilu memang tidak ditemukan frasa "verifikasi faktual" yang ada adalah frasa "penelitian keabsahan administrasi" sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 174 UU Pemilu.
Apa yang dimaksud dengan penelitian?, dalam beberapa pengertian ahli menyatakan, penelitian adalah suatu proses investigasi yang dilakukan secara terencana dan sistematis untuk menemukan sesuatu. Dan “menemukan sesuatu” dalam makna Pasal 173 ayat (2) berarti melakukan uji kebenaran ada tidaknya tidaknya persyaratan parpol yang telah disampaikan ke KPU dan bukan sekedar tumpukan kertas persyaratan.
Kendatipun, tidak ditemukan frasa verifikasi faktual dalam UU Pemilu tetapi kalimat itu ada tercantum dalam PKPU No. 11 Tahun 2017 Tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dan PKPU Nomor 11 Tahun 2017 diterbitkan oleh KPU untuk melaksanakan ketentuan Pasal 174 ayat (3) dan Pasal 178 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Dengan demikian, istilah "verifikasi faktual" sah secara hukum dan segala pernyataan bahwa verifikasi faktual tidak dikenal dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dinyatakan sesat dan menyesatkan serta tidak berdasarkan hukum dan logika penalaran.
Solusi dan Akibat Hukum
Pelaksanaan verifikasi faktual dengan alasan ketidakcukupan waktu dan anggaran bisa dberikan solusi dengan:
Pertama, menambah waktu jadwal verifikasi terhadap parpol lama sampai sebelum jadwal pengajuan daftar calon sementara (DCS) caleg parpol sekitar awal Juli 2018 berbarengan dengan jadwal yang sudah ditetapkan. Pengumuman parpol peserta pemilu pada 18-20 Februari 2018 dapat saja direvisi dengan menambah waktu tugas atas pertimbangan pelaksanaan putusan MK.
Kedua, waktu 5 (lima) bulan yang tersedia untuk melakukan verifikasi faktual tentu saja tidak harus menggunakan waktu maksimal tetapi KPU dapat melakukannya dengan teknik atau metode verifikasi yang lebih efektif dan efesien tanpa mengurangi bobot, kualifikasi dan aspek akuntabilitas.
KPU setelah rapat dengar pendapat (RDP) dengan komisi II DPR (18/1) telah menyatakan akan menggunakan metode sampling sebesar 5 persen atau 10 persen dari rasio populasi jumlah penduduk yang memiliki hak pilih. Secara ilmiah, metode sampling dapat dibenarkan dan dipertanggungjawabkan sehingga dapat dilaksanakan secara baik dan benar.
Ketiga, KPU dapat menggerakkan infrastruktur yang tersedia dan menjangkau sampai ke lapisan bawah dengan melibatkan tingkatan pusat (KPU) hingga KPUD dan KPPS. Dengan ketersediaan SDM demikian saya percaya KPU dapat menjalankan verifikasi faktual sesuai dengan jadwal tanpa mengganggu jadwal tahapan pemilu lainnya.
Keempat, kebutuhan tambahan anggaran KPU sebesar Rp 68 Miliar untuk memverifikasi secara faktual 12 parpol lama tidaklah berat karena pelaksanaan pemilu merupakan tanggungjawab bersama semua stakeholders termasuk DPR dan Pemerintah dibandingkan dengan risiko kemungkinan pemilu ulang yang akan menelan biaya sebesar Rp 15 Triliun.
Akibat hukum putusan MK yang tidak dilaksanakan merupakan pelanggaran hukum yang dapat dipidana sesuai ketentuan Pasal 476 sampai Pasal 554 UU Pemilu. Putusan MK sederajat dengan undang-undang sehingga kedudukan hukum putusan MK sama kuatnya dengan UU sesuai ketentuan Pasal 57 ayat (3) UU MK.
Apabila verifikasi faktual tidak dilaksanakan maka akan berakibat hukum berupa: Pertama, hasil pemilu dapat dinilai cacat hukum karena persyaratan berupa verifikasi faktual tidak dilakukan sebagai syarat kepesertaan pemilu. Konkritnya, peserta pemilu diikuti oleh peserta parpol yang tidak memenuhi persyaratan (parpol tidak sah) sesuai ketentuan Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu.
Kedua, akibat pemilu yang diselenggarakan dimana pesertanya merupakan parpol yang tidak memehi persyaratan mengakibatkan hasil pemilu juga dinilai cacat atau tidak sah.
Ketiga, pihak-pihak terkait baik parpol peserta pemilu atau warga negara Indonesia yang berhak memilih dapat mengajukan gugatan hukum ke pengadilan dengan dalil peserta pemilu diikuti oleh parpol yang tidak memenuhi persyaratan.
Keempat, Gugatan pihak-pihak yang keberatan hasil pemilu kemungkinan besar akan dimenangkan pihak penggugat oleh MK karena melanggar ketentuan Pasal 173 ayat (2) UU Pemilu dimna MK sendiri sudah memutuskan wajib-nya verifikasi faktual.
Kelima, disamping pembatalan hasil pemilu, penyelenggara juga dapat digugat ke pengadilan umum karena telah secara nyata melakukan tindak pidana pemilu dengan mengabaikan perintah pelaksanaan verifikasi faktual. Selain itu, penyelenggara pemilu (KPU dan seluruh strukturnya) juga akan disidang oleh DKPP karena dinilai melanggar Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku.
Sebagai pernyataan akhir, DPR, Pemerintah, KPU, Bawaslu dan DKPP akan lebih baik menjalankan perintah Putusan MK berupa verifikasi faktual atau uji kebenaran dokumen parpol peserta pemilu 2019 daripada memenuhi bui penjara dan merugikan negara Rp 15 Triliun serta merusak tatanan ketatanegaraan dan demokrasi yang makin tumbuh.
Syamsuddin Radjab
Pengamat Hukum Tata Negara dan Direktur Eksekutif Jenggala Center