Oleh: Komarudin Watubun
Tanggal 1 Juni tahun 1945 adalah hari lahirnya Pancasila, dasar susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat.
“Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan, macam-macam, tetapi alangkah benarnya perkataan Dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan paham. Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu “Weltanschaung” yang kita semuanya setujui... Saudara-saudara, Dasar-dasar Negara telah saya usulkan... Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Pancasila!”
Begitu cuplikan isi Pidato Ir. Soekarno di depan anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni tahun 1945 di Gedung Pejambon, Jakarta. Kira-kira 15 tahun kemudian, pada tahun 1960, sosiolog asal Amerika Serikat (AS), Daniel Bell, merilis buku The End of Ideology.
Bahwa era ideologi humanis asal abad 19 dan awal abad 20 telah redup. Faktor pemicunya ialah lahirnya era baru : pergeseran dari manufaktur ke sektor-sektor jasa ekonomi, peran sentral dari industri-industri berbasis sains baru seperti revolusi teknologi informasi, dan lahirnya elit baru teknokrat di berbagai negara (Bell, 1973).
Pada 30 September tahun 1960, Presiden Negara RI Ir. Soekarno berpidato di depan markas besar Majelis Umum (MU) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), New York, Amerika Serikat : ‘To Build the World A New”. Cuplikan isi pidato Presiden Soekarno itu antara lain isinya bahwa Negara dan Bangsa RI memiliki ideologi sejak puluhan bahkan ratusan tahun yaitu Pancasila.
Presiden Soekarno mengeritik pandangan ahli matematika-fisika Bertrand Russel (1872-1970) asal Inggris, bahwa hanya ada dua ideologi dunia yakni demokrasi-liberalisme vs komunisme. Rakyat RI memiliki ideologi sendiri : Pancasila.
Awal Oktober 2008, ahli ekonomi-politik Stephanie Lee Mudge, Associate Professor pada University of California, Berkeley (Amerika Serikat) merilis kajian tentang ‘neo-liberalisme’ di Socio-Economic Review vol. 6, edisi 1 Oktober 2008.
Ideologi neo-lib mudah dikenali dari kebijakan dan programnya yakni privatisasi, liberalisasi, depolitisasi, deregulasi, dan moneterisme (lihat gambar).
Tentu saja, kebijakan-kebijakan semacam ini mempreteli kekuasaan, kewenangan, dan tanggung jawab Negara (Pemerintah) di bidang sosial, ekonomi, kesejahteraan Rakyat, pendidikan, dan kesehatan Rakyat.
Berikutnya, ideologi neolib menggerus kedaulatan setiap Negara. Tentu saja, ideologi ini sangat berbeda dan bertentangan dengan ideologi Pancasila. Bahwa dasar dan arah kedaulatan Rakyat dan Negara ialah Pancasila. Oleh karena itu, misalnya, dalam pidatonya di depan MU PBB tahun 1960 di New York (AS), Presiden RI Soekarno menegaskan bahwa bagi Negara RI, Rakyat RI, dan Bangsa Indonesia, revolusi sains harus dapat menjelmakan Pancasila. Jika tidak, maka sains itu telah gagal!
Dewasa ini, awal abad 21, ideologi neo-lib membawa-serta 6 (enam) klaim. Yakni (1) integrasi pasar-pasar global melalui formula neo-lib ialah bagian dari globalisasi; maka ‘globalisasi’ dan ‘pasar’ adalah dua sisi pokok dan kembar dari keyakinan neo-neolib (Steger, 2003:7). Keyakinan ini lahir dari ilham gagasan seperti Herbert Spencer, Frederick Hayek, dan Milton Friedman; (2) globalisasi adalah fenomena yang tidak dapat dihindari dan tidak dapat diubah; Ini bisa kita dengar dari pidato Presiden AS Bill Clinton (Clinton, 1999) atau CEO FedEX seperti Frederich W. Smith (F.W. Smith, 1999);
Berikutnya, klaim ke-3 dari neolib bahwa “nobody is in charge of globalization!” Tidak ada yang harus bertanggung jawab jika globalisasi dan pasar global gagal! Bahkan Negara pun tidak! Maka pilihannya ialah Anda, Negara-mu harus berjuang dan bersaing, bersaing, dan bersaing! Karena pasar itu bersifat ‘self-regulating’, mengurus dirinya sendiri, mencari keseimbangan antara pasokan dan permintaan menuju stabilitas. Tidak perlu ada intervensi Negara. Begitu usul Robert Hormats, wakil CEO Goldman Sachs International (Hormats, 1998).
Melalui mekanisme ‘self-regulating’, pasar global dapat bermanfaat bagi setiap orang (‘benefit for everyone’). Begitu keyakinan neo-lib.
Klaim ke-5 neolib yakni globalisasi dan pasar itu dapat menyebarluaskan demokrasi di dunia. Francis Fukuyama, misalnya, yakin bahwa ada korelasi kuat antara level kemajuan ekonomi suatu masyarakat dan Negara dengan konsolidasi demokrasi (Steger, 2003).
Jika teroris mengusik pasar global dengan ideologi neolib-nya, maka perlu ada “perang global melawan terorisme”. Begitu antara lain pesan Thomas Barnett, ahli strategi militer pada US Naval War College (Barnett, 2004).
Tentu saja, neolib dengan globalisasi pasar tersebut di atas mengancam amanat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 menghendaki pelaku ekonomi adalah BUMN di bidang “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orangbanyak dikuasai oleh negara” dan Pasal 33 ayat (1) menghendaki “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” yakni koperasi.
Moh. Hatta (2002:230-233), ketua tim penyusun pasal 33 UUD 1945 asli, menyatakan bahwa Pasal 33 UUD 1945 ialah politik-ekonomi Negara-Bangsa Indonesia: “Antara aktivitas kooperasi yang bekerja dari bawah dan aktivitas pemerintah yang bekerja dari atas, masih luas bidang ekonomi yang dapat dikerjakan oleh swasta. Pengusaha swasta bangsa kita sendiri atau oleh golongan swasta Indonesia yang bekerja sama dengan orang swasta bangsa asing... Yang perlu ialah inisiatif swasta itu bekerja di bawah kepemilikan pemerintah dan dalam bidang dan syarat-syarat yang ditentukan oleh pemerintah.”