Oleh: M. Nigara
PRANCIS JUARA dunia? Mungkin terlalu dini, mungkin juga terlalu subyektif. Tapi, begitulah prediksi saya setelah Kylian Mbappe dan kawan-kawan menggasak Argentina 4-2 di laga perdana babak 16 besar, di Kazan Arena, Rusia.
Jelang laga dimulai, saya berdiskusi dengan mantan Ketua Umum PSSI, La Nyalla Mattalitti tentang siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
"Wah, kita sama-sama pegang Prancis mas," tulis LNM, sapaan akrab La Nyalla, di wall WA kami.
Baik LNM maupun saya sama-sama melihat kelemahan Argentina. Tim Tango itu terlalu individualistis. Lionel Messi, Angel di Maria, Javier Mascherano, dalam tiga laga di grup, tidak pernah solid. Sampaoli sebagai sutradara tak mampu menurunkan seorang diregen di lapangan.
Messi sang mega bintang dan menjadi harapan bukan hanya bagi fans Argentina tapi juga bagi fans Barcelona di seluruh dunia, tak mampu berperan dengan baik untuk
membakar semangat tim.
Sementara Prancis justru memperlihatkan pola kebersamaan. Tidak adanya tokoh sentral membuat tim Prancis jadi lebih cair.
Paul Labille Pogba yang sudah 32 kali membela Manchester United, justru mampu berperan sebagai dinamo tim.
Tak heran berulang kali tim ayam jago mampu memperlihatkan tajinya. Bukan hanya mampu membobol gawang Argentina empat kali, tapi mereka juga mampu memeragakan sepakbola indah.
Permainan bola-bola pendeknya membuat Messi dan kawan-kawan seperti para pemula yang sedang diajari bermain bola.
Batu sandung
Namun, untuk lolos di babak quarter final, Pogba cs harus mampu menekuk Uruguay. Tidak mudah, pasti. Kemenangan Suarez 2-1 atas Portugal (lagi-lagi dalam diskusi saya dengan LNM, terbukti.
Kami sama-sama mengunggulkan Uruguay) memperlihatkan soliditas tim yang pertama kali menjadi juara dunia (1930).
Kehebatan tim terlihat dengan berubahnya peran Luis Suarez dari titik sentral (di event-event sebelumnta), menjadi suporting tim. Contoh paling indah saat Edinson Cavani mencetak gol pertamanya ke gawang Portugal.