3. Patut diduga kuat, karena masih maraknya tindakan koruptif, kolutif dan pungli di sekitar pelabuhan.
Kongkalikong antara kepala pelabuhan dengan pemilik kapal, atau nakhoda; seolah menjadi rahasia umum.
Praktik inilah yang kemudian menjadi legitimasi standar keselamatan di sektor pelayaran di Indonesia nyaris nihil, khususnya yang berbasis pelayaran rakyat.
Manifes penumpang kapal menjadi tidak jelas, bahkan tidak ada sama sekali.
Bahkan angkutan pelayaran yang dikelola PT ASDP pun mulai menunjukkan gejala yang sama.
4. Khusus untuk pelayaran yang dikelola PT ASDP, akhir-akhir ini juga menunjukkan gejala kemunduran, khususnya dari sistem ticketing.
Pada era 2016, sistem ticketing di PT ASDP sudah cukup baik, sudah berbasis elektronik.
Namun, semenjak ditinggalkan Pak Danang (Dirut, alm), karena dipindah menjadi Dirut AP1, kondisi sistem ticketing di PT ASPD berantakan lagi, mundur, menjadi tiket manual lagi.
YLKI menerima pengaduan/laporan yang cukup akurat terkait hal ini dari konsumen yang amat kredibel.
Bahkan, di ASDP kini muncul lagi fenomena "tiket muter", yakni tiket yang sudah dijual, bisa dijual lagi untuk penumpang berikutnya.
Akibat dari ini: manifes kapal menjadi kacau, koruptif, dan pendapatan negara yang hilang.
Tiket elektronik yang diinisiasi Pak Danang, tentu saja menjadikan banyak pihak kehilangan pendapatan (ilegal).
5. Masih tumpang tindihnya regulasi yang ada, khususnya di level pemerintah pusat, Kemenhub.
Pihak pemda mengklaim banyak kewenangan pemda yang diambil pusat lagi, sehingga pemda tak punya kewenangan.
Baca: Tenggelam di Pantai Pelabuhan Ratu Hanya Rekayasa, di Mana Nining Sembunyi Selama 1,5 Tahun?