Ditulis oleh Bambang Susilo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Film sinetron kolosal impor, Mahabarata yang disiarkan oleh salah satu statiun televisi swasta memang menarik perhatian pemirsa, bahkan memiliki rating yang cukup tinggi.
Namun sesungguhnya bagi pengamat siaran televisi dengan menggunakan “pisau analisa budaya”, skrip dan skenarionya bermasalah yaitu tidak sesuai dengan kepribadian atau jatidiri bangsa.
Ceritera wayang di Indonesia sumbernya berasal dari India, yakni terdapat dalam buku Ramayana dan Mahabarata.
Baca: Andi Arief: Siang Ini Demokrat Gelar Sidang Tentukan Capres/Cawapres dan Bahas Ajakan Prabowo
Menurut keterangan para ahli budaya India, kedua buku tersebut merupakan buku sejarah sebab cerita yang termuat di dalam buku-buku itu memang dulunya benar-benar terjadi dan ada di India. '
Ada yang menerangkan bahwa Alengka yaitu sebuah negara, Rahwana sebagai raja, sekarang bernama Srilangka.
Mandaraka yaitu sebuah negara, Salya sebagai raja, sekarang bernama Madras.
Indraprastra, yaitu sebuah negara, Yudistira sebagai raja, sekarang bernama Delhi.
Menurut seorang sarjana dari India yang bernama Rama Prasad, Perang Baratayuda terjadi pada tahun 2000 SM.
Baca: Disabilitas Tak Menjadi Penghalang Untuk Berprestasi
Walaupun cerita wayang Indonesia bersumber pada buku Ramayana dan Mahabarata, tetapi tidak berarti bangsa Indonesia mengutip dari isi kedua buku tersebut. Di Indonesia isi kedua buku tersebut diolah para empu sehingga menjadi lebih indah serta memuat kias hidup manusia dari lahir hingga mati.
Karena pandainya dalam mengolah kedua buku tersebut, orang India sendiri tidak mengira bahwa cerita wayang di Indonesia sebenarnya gubahan dari buku Ramayana dan Mahabarata.
Penyaduran sumber cerita dari Ramayana dan Mahabarata ke dalam bahasa Jawa kuno dilakukan pada zaman raja Jayabaya (Majapahit). Pujangga yang terkenal pada waktu itu Empu Sedah dan Empu Panuluh.
Sebelum Islam masuk ke Indonesia, cerita wayang masih berkaitan dengan budaya India.
Inilah dua pointers syut skenario film Mahabarata yang tidak sesuai dengan jatidiri bangsa Indonesia, sesuai dengan sumber ceritanya, Dewi Drupadi adalah isteri dari Pandawa Lima, yaitu Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa.
Jatidiri bangsa kita tidak mengenal adanya poliandri (seorang isteri bersuamikan lebih dari satu pria). Kita hanya mengenal poligami.
Sesuai dengan sumber ceritanya, para dewa adalah manifestasi dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Salah seorang Wali Sanga yang bernama Sunan Kalijaga (Demak, abad XV) adalah orang yang pertama kali membuat wayang dari kulit lembu.
Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai media syiar dan dakwah Agama Islam.
Menurut Sunan Kalijaga bahwa Dewi Drupadi adalah isteri dari Yudistira, bukan isteri dari Pandawa Lima. Para Dewa diibaratkan sebagai pimpinan/pemimpin, bukan sebagai Tuhan.
Sejak saat itu hingga sekarang ceritera yang telah digubah oleh Sunan Kalijaga menjadi referensi dan panutan para dalang sebagai sumber cerita pewayangan yang sesuai dengan jatidiri bangsa.
Tontonan diharapkan juga menjadi tuntunan, termasuk sinetron. Penulis berharap ada seorang produser yang mampu membuat film kolosal Mahabarata versi Indonesia yang dapat menjadi tontonan dan tuntunan.
Problemnya, untuk memproduksi film kolosal sejenis Serial Mahabarata memerlukan beaya produksi yang sangat besar, dan dari segi provide tidak menguntungkan sehingga produser enggan membuatnya.