Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - “Yang memiliki kekuatan adalah yang berjaya untuk melangsungkan kehidupan, sedangkan yang tidak bisa bertahan akan terpuruk dan kalah.” (Friederich Nietzsche, 1844-1900).
Pernahkah Anda berdiri di kegelapan malam di musim penghujan sambil memandang seberkas cahaya yang memancar dari sebuah lampu di pematang sawah?
Bila Anda juga menyaksikan laron-laron, ribuan bahkan mungkin jutaan ekor, beterbangan mendekat dan mengerubungi lampu tersebut, demikian itulah gambaran para calon anggota legislatif (caleg) yang didaftarkan partai politik masing-masing ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), 4-17 Juli 2018, untuk mengikuti Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Jelang pemilu, mereka seakan menjelma menjadi laron politik.
Total ada 16 parpol nasional, ditambah 4 parpol lokal di Aceh yang menjadi peserta Pemilu 2019. Jumlah ini bertambah dari Pemilu Legislatif 2014 sebanyak 12 parpol nasional dan 3 parpol lokal.
Pemilu 2019 akan berlangsung serentak antara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, yakni pemungutan suaranya digelar dalam satu hari yang sama: Rabu, 17 April 2019.
Baca: Kapitra: Kalau Saya Caleg PDI-P, Lalu Saya Murtad? Kafir? Saya munafik? Yang Benar Aja Dong
Ke-16 parpol nasional tersebut, sesuai nomor urut peserta pemilu, adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB/1), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra/2), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP/3), Partai Golongan Karya (Golkar/4), Partai Nasional Demokrat (Nasdem/5), Partai Garuda (6), Partai Berkarya (7), Partai Keadilan Sejahtera (PKS/8), Partai Persatuan Indonesia (Perindo/9), Partai Persatuan Pembangunan (PPP/10), Partai Solidaritas Indonesia (PSI/11), Partai Amanat Nasional (PAN/12), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura/13), Partai Demokrat (PD/14), dan partai lokal Aceh, yakni Partai Aceh (PA/15), Partai SIRA (16), Partai Daerah Aceh (PDA/17), Partai Nanggroe Aceh (PNA/18), dan partai nasional lagi, yakni Partai Bulan Bintang (PBB/19) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI/20).
Adapun jumlah caleg yang didaftarkan parpol-parpol tersebut mencapai ratusan ribu orang.
Gerindra saja, misalnya, jumlah caleg yang didaftarkan ke KPU dan KPUD di seluruh Indonesia sekitar 30.000 orang, dan Nasdem 20.391 orang.
Bersama ratusan ribu caleg lain dari parpol lain, mereka akan memperebutkan 575 kursi DPR RI di 80 daerah pemilihan, dan puluhan ribu kursi DPRD provinsi, kabupaten dan kota di ratusan daerah pemilihan di seluruh Indonesia.
Perebutan kursi DPR RI/DPRD oleh para caleg itu persis seperti laron-laron berebut cahaya lampu.
Apakah mereka memang memandang kursi legislatif sebagai cahaya masa depan yang bisa menerangi kehidupan mereka, terutama kehidupan ekonomi? Bisa jadi.
Di antara mereka barangkali saat ini ada yang merasa dalam kegelapan ekonomi, sehingga berbondong-bondong nyaleg.
Caleg-caleg dengan tipikal semacam inilah yang berpotensi mengalami tekanan mental bahkan gangguan jiwa bilamana gagal terpilih. Sebab itulah, KPU mengantisipasinya dengan mensyaratkan caleg harus memiliki keterangan sehat jiwa dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ).
Mengapa orang-orang berbondong-bondong nyaleg?
Ada gula ada semut, demikian kata pepatah. Gula adalah kekuasaan, semut adalah mereka yang berburu kekuasaan. Kekuasaan juga ibarat opium, candu, atau ganja yang membuat penikmatnya ketagihan.
Terbukti, banyak di antara para caleg itu adalah incumbent atau petahana anggota DPR RI/DPRD periode 2014-2019, bahkan banyak pula yang sudah duduk di DPR RI atau DPRD pada periode-periode sebelumnya, termasuk di era Orde Baru.
Mereka yang kini duduk di eksekutif sebagai menteri di Kabinet Kerja juga tak mau ketingggalan.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, bahkan Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi Saptopribowo dipastikan maju sebagai caleg dari PDIP.
Tiga menteri dari PKB, yakni Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dakhiri, dan Menteri Pembangunan Desa, Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sanjoyo juga dipestikan maju lagi sebagai caleg.
Demikian pula Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur dari PAN dan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dari PPP. Ketua DPR RI Bambang Soesatyo (Golkar) dan Ketua MPR RI Zulkifli Hasan (PAN) juga tak mau kalah.
Tak Ada Lawan Abadi
Mengapa mereka berbondong-bondong menjadi caleg? Friederich Nietzsche, filsuf eksistensialis asal Jerman, dalam “The Will of Power” menyatakan, manusia yang unggul selalu memiliki kehendak untuk berkuasa.
Manusia unggul tidaklah tercipta dari alam, tetapi manusia yang harus melalui banyak proses seleksi alam, dan manusia-manusia yang dapat bertahan tersebutlah yang akan menjadi manusia unggul dengan segala proses perbaikan tingkat kecerdasan dan pendidikan yang semakin tinggi untuk meningkatkan derajat dan kemampuannya.
Energi kekuatan dan intelektualitas yang tinggi cenderung mendorong setiap manusia untuk memiliki kehormatan atau kebanggaan diri sehingga menjadi manusia unggul.
Nietzsche menganggap kehadiran manusia di dunia untuk hidup adalah sebuah perjuangan untuk terus berada dalam satu ekosistem sebagai suatu organisme yang berhak untuk terus melangsungkan kehidupannya di dunia. Untuk dapat bertahan hidup (survive) maka manusia sangat dituntut untuk memiliki kemampuan yang kita sebut kebagai kekuatan.
Tak ada ada kawan atau lawan abadi, yang abadi adalah kepentingan.
Demikian adagium di dunia politik. Hal ini juga terjadi di Pemilu 2019 nanti. Banyak caleg dari satu parpol pindah ke parpol lain, termasuk mereka yang tergolong public figure (tokoh publik), sehingga mereka harus bertarung dengan teman-teman parpol asalnya, bahkan dengan teman separpol barunya.
Sebut saja penyanyi Krisdayanti yang pada Pemilu 2014 lalu menjadi caleg dari Hanura kini menjadi caleg PDIP. Mantan model Okky Asokawaty dari PPP pindah ke Nasdem.
Tak hanya itu. Mereka yang selama ini dianggap berseberangan ideologi juga ikut parpol yang semula berseberangan itu.
Sebut saja pendiri PKS, Yusuf Supendi, yang kini menjadi caleg PDIP di Dapil Jawa Barat V (Bogor), bahkan pengacara Habib Rizieq Syihab, Kapitra Ampera, yang kini nyaleg lewat PDIP untuk Sumatera Barat.
Dari sini terbukti, di antara parpol-parpol itu tak ada perbedaan ideologi yang tajam, semua berpikir pragmatis demi kekuasaan, walau secuil.
Laron atau white ants itu sendiri adalah rayap dewasa yang sudah memasuki masa kawin. Laron nama Latin-nya adalah Macrotermes Gilvus. Laron tersebar di seluruh dunia kecuali di daerah Kutub.
Panjang tubuhnya berkisar antara 4-11 milimeter, memiliki antena lurus berbentuk manik-manik, dada dan perut laron bergabung dengan ukuran yang hampir sama, tubuhnya panjang dan beruas-ruas dengan gelembung meruncing di bagian belakang, memiliki 4 pasang kaki, berkepala bulat besar, memiliki sepasang mata dan sepasang sayap yang keluar saat musim penghujan.
Makanan Laron berupa selulosa, yang merupakan materi paling berlimpah yang ada di bumi dan sangat menggemari kayu.
Mengapa laron bangkit dan mencari cahaya lampu atau sumber lain pada malam hari?
Mengapa tidak pas siang hari ketika cahaya matahari berlimpah? Karena kelembaban udara akibat teriknya sinar matahari tidak sama dengan paparan cahaya yang muncul dari lampu atau sumber lain pada malam hari.
Namun, laron dapat juga bangkit ketika datang mendung atau kelembaban udara yang dianggap sesuai oleh mereka pada siang hari.
Akankah laron-laron politik itu melapukkan kayu kekuasaan? Para anggota legislatif yang terlibat korupsilah yang telah melapukkan kayu kekuasaan itu.
Karyudi Sutajah Putra: Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.