News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Mungkinkah Kembali ke UUD Asli?

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM

Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat

TRIBUNNEWS.COM - Sabtu (18/8/2018), Indonesia memperingati Hari Konstitusi, merujuk pada pengesahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Tidak seperti di Amerika Serikat (AS) yang setelah ratusan tahun konstitusinya baru diamandemen, dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami empat kali amendemen (perubahan) oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI. Amandemen ini mengubah susunan lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan RI.

Sebelum amandemen, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh (16 bab, 37 pasal, 65 ayat, yakni 16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat, dan 49 ayat berasal dari 21 pasal yang terdiri dari 2 ayat atau lebih; 4 pasal Aturan Peralihan; dan 2 ayat Aturan Tambahan; serta Penjelasan. Setelah dilakukan empat kali amandemen, UUD 1945 memiliki 16 bab, 37 pasal, 194 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan.

Pasca-amandemen, lembaga-lembaga baru pun bermunculan, seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY), sedangkan lembaga lama hilang, yakni Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Akibatnya, banyak terjadi konflik antar-institusi atau lembaga, misalnya antara DPR RI dan DPD RI, antara MK dan Mahkamah Agung (MA), dan antara MA dan KY.

MPR yang semula berwenang memilih dan memberhentikan Presiden, pasca-amandemen tersebut, tidak berwenang lagi. Presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum presiden (pilpres).

Implikasinya, kepala daerah pun kemudian dipilih secara langsung melalui pemilihan umum kepala daerah (pilkada), baik gubernur, wali kota atau pun bupati, tidak dipilih lagi oleh DPRD, menyesuaikan dengan pilpres.

Akibat pemilihan langsung tersebut,money politics (politik uang) merebak di mana-mana. Political cost (ongkos politik) pun melambung tinggi, bukan hanya pemilihan eksekutif, melainkan juga pemilihan legislatif.

Seiring melambungnya political cost, korupsi pun merebak di mana-mana. Bupati dan wali kota menjelma menjadi “raja kecil”, tidak “takut” lagi kepada presiden apalagi gubernur, karena merasa dipilih langsung oleh rakyat. Sebagai “raja kecil”, mereka pun seakan berlomba-lomba korupsi.

Sepanjang tahun ini saja, sejak 1 Januari hingga 18 Juli, sebanyak 19 kepala daerah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka korupsi. Dari jumlah itu, 15 di antaranya berawal dari Operasi Tangkap Tangan (OTT).

Sejak berdiri tahun 2003, KPK telah memproses 98 kepala daerah dalam 109 perkara korupsi dan money laundering (pencucian uang). Ini belum termasuk perkara korupsi yang ditangani kepolisian dan kejaksaan.

Data Kementerian Dalam Negeri, tahun 2004 hingga 2017 ada 313 kepala daerah terlibat korupsi. Sejumlah mantan menteri juga terlibat korupsi.

Itu di ranah eksekutif. Di ranah legislatif, dalam 10 tahun terakhir, KPK mencatat sedikitnya 135 anggota DPR RI terlibat korupsi.

Sedangkan jumlah anggota DPRD (provinsi/kabupaten/kota) yang terlibat korupsi mencapai 3.650 orang. Korupsi di legislatif juga melibatkan top pimpinan mereka, yakni mantan Ketua DPR RI Setya Novanto dan mantan Ketua DPD RI Irman Gusman.

Di ranah yudikatif, data KPK, sepanjang 2005-2016 ada 41 penegak hukum terlibat korupsi. Tahun 2017, KPK melakukan sedikitnya empat kali OTT terhadap aparat penegak hukum.

Data ini belum termasuk kasus yang ditangani kepolisian dan kejaksaan, serta para penegak hukum yang mendapat sanksi etik. Korupsi di yudikatif juga melibatkan top pimpinan mereka, yakni mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.

Pendek kata, yudikatif pun ikut berlomba korupsi sebagaimana eksekutif dan legislatif, meskipun mereka tidak dipilih melalui pemilu.

Akibat maraknya korupsi dan konflik antar-lembaga negara, sudah agak lama muncul suara-suara untuk kembali ke UUD 1945 asli atau sebelum diamandemen. Mungkinkah?

Di dalam politik tak ada sesuatu yang tak mungkin, karena politik adalah seni menjajaki kemungkinan-kemungkinan.

Bila rakyat menghendaki, juga tak ada yang tak mungkin. Yang tak boleh diamandemen hanyalah kitab suci agama. Konstitusi sebuah negara, tak haram untuk direvisi, disesuaikan dengan kebutuhan bangsa dan perkembangan zaman.

Sebelum 1999, bukankah UUD 1945 asli juga pernah mengalami perubahan? UUD 1945 disahkan pada 18 Agustus 1945.

Selang empat tahun, atau sejak 27 Desember 1949, di Indonesia berlaku Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat), dan sejak 17 Agustus 1950 berlaku UUD Sementara (UUDS) 1950.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945, dengan dikukuhkan secara aklamasi oleh DPR RI pada 22 Juli 1959.

Kalau memang MPR RI tak mau mengembalikan konstitusi ke UUD 1945 asli atau sesuai yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945, mungkinkah Presiden RI mengeluarkan dekrit?

Sekali lagi, sepanjang rakyat menghendaki, tak ada yang tak mungkin, karena suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei).

Kini, bola ada di tangan MPR dan Presiden.

Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan anggota DPR RI/Chief Executive Officer (CEO) PT Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini