Unggahan itu diberi coretan di bawahnya: “Enak jamanku to?”
Janji dan bukti
Mana ada kampanye tanpa janji? Pertanyaannya, apakah janji itu digenapi setelah menjabat? Itu sebabnya rekam jejak setiap anggota caleg maupun capres perlu kita cermati.
Penyampaian visi dan misi pun kita telaah dan tidak kita telan mentah-mentah.
Salah satu pertanyaan penting di sini adalah apakah visi dan misi itu realistis atau hembusan ‘angin surga’ yang tidak jelas kapan akan menitis.
Frasa ‘seharusnya begini’ dan ‘seharusnya begitu’ perlu kita waspadai. Mengapa? Kata ‘seharusnya’ itu bisa jadi hanya utopia yang ternyata tidak bisa diwujudkan sendiri oleh yang mengatakannya. Ketimbang berangan-angan membangun istana di atas awan, mengapa tidak membangun rumah layak huni yang langsung bisa ditinggali?
Sudahlah, jaga telinga kita baik-baik agar tidak semakin tipis dikikis orang-orang yang pesimis dengan mengatakan tempe setipis kartu ATM atau uang Rp 50 ribu dapat apa.
Jangan-jangan yang mengatakan hampir tidak pernah makan tempe apalagi belanja dengan uang Rp 50 ribu. Orang yang biasa makan ala fine dining dan menyuruh orang lain untuk belanja, mana pernah menginjak pasar tradional, kecuali menjelang pileg dan pilpres saja.
Percayalah, pencitraan tidak pernah mendapat piala citra. Yang didapat justru cibir dan cerca.
Jadi, pertanyaan, “Piye kabare. Enakan jamanku to?” tidak perlu dijawab. Namanya saja retorika.