Sepanjang 2018, KPK telah melakukan 30 kali operasi tangkap tangan (OTT) dengan lebih dari 115 tersangka, yang terbaru adalah OTT di Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Untuk terorisme, kasusnya meningkat pada 2018 dibanding 2017. Berdasarkan catatan Polri, terduga teroris yang ditangkap pada 2017 berjumlah 176 dan pada 2018 sebanyak 396 orang. Jumlah aksi teror meningkat 42% dibandingkan 2017, dari 12 kasus menjadi 17 kasus. Jumlah pelaku teror yang berhasil diungkap meningkat 113%.
Polri juga mencatat jumlah anggotanya yang menjadi korban teror meningkat dari 18 orang di 2017, menjadi 31 orang di 2018. Delapan orang di antaranya gugur. Personel Polri korban aksi teror meningkat 72%.
Sementara itu, untuk proses hukum terhadap 396 terduga teroris, sebanyak 35% sudah naik ke persidangan, 52% masih dalam tahap penyidikan, tewas karena penegakan hukum 6% atau 25 orang, meninggal bunuh diri 6 orang, yang sudah divonis 12 orang dan meninggal karena sakit 1 orang.
Ironisnya, di tengah keserbadaruratan itu, meminjam istilah Ebiet G Ade dalam lagunya, “Untuk Kita Renungkan”, “masih banyak tangan yang tega berbuat nista”. Ada darurat moral, mental dan akal sehat. Indonesia pun dalam kondisi darurat di atas darurat.
Direktorat Kriminal Khusus Polda Banten menetapkan 3 tersangka terkait pungutan liar (pungli) terhadap keluarga jenazah korban tsunami di RS Drajat Prawiranegara (RSDP) Serang. Tiga tersangka itu terdiri dari dua orang karyawan swasta berinisial I dan B, dan satu orang Aparatur Sipil Negara (ASN) berinisial F. Polisi menyita barang bukti uang Rp 15 juta.
OTT KPK di Kementerian PUPR, Jumat (28/12/2018), juga terkait dugaan suap proyek pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM) tahun anggaran 2017-2018, salah satunya di daerah bencana, yakni Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah, yang baru terkena tsunami.
Dalam OTT ini KPK mengamankan 21 orang, 8 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Dari 8 orang tersangka, 4 di antaranya pejabat Kementerian PUPR, sedangkan 4 orang lainnya dari pihak swasta.
Dalam perkara korupsi, kita juga mendapati tak sedikit hakim yang menyidangkan perkara korupsi justru menerima suap dari terdakwa yang disidangkannya.
Kita juga banyak mendapati oknum aparat penegak hukum yang terlibat suap dalam menangani kasus narkoba. Tidak heran bila kemudian banyak nama-nama pesohor yang hanya dijatuhi hukuman rehabilitasi saat terlibat narkoba. Tak sedikit pula oknum polisi yang dipecat bahkan dihukum gara-gara menerima suap atau menyalahgunakan barang bukti kasus narkoba.
Darurat Politik
Tak mau kalah dengan bencana, korupsi, narkoba dan terorisme, kondisi politik di Tanah Air juga dalam kondisi darurat. Sejak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Presiden RI terpilih pada 2014, pertarungan politik inter-parlemen dan antara parlemen dengan Presiden RI hingga kini tak kunjung padam. Padahal Pemilu/Pilpres 2019 tinggal menghitung hari.
DPR periode 2014-2019 terbelah antara Koalisi Merah Putih yang memosisikan diri sebagai oposisi, dan Koalisi Indonesia Hebat yang mendukung pemerintah. Ini kelanjutan dari Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan pada DPR periode 2009-2014.
Belakangan dikotomi Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat mulai mencair setelah Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN) menempatkan wakilnya di Kabinet Indonesia Kerja pimpinan Presiden Joko Widodo. Namun, mulai mencairnya kubu oposisi dan koalisi pendukung pemerintah tidak otomatis mengeliminir “perseteruan” antara legislatif dan eksekutif.