Oleh: Dr Slamet Pribadi
BANYAK hal yang dilakukan oleh para pencari keadilan, baik Prinsipal (pihak yang bersengketa) maupun kuasanya, atas putusan sistem peradilan termasuk putusan peradilan tentunya, terutama pihak yang merasa tidak diuntungkan, atau pihak yang kalah, atau pihak yang dihukum.
Ada saja ekspresi kekesalan terhadap sistem peradilan tersebut, melalui berbagai upaya hukum, resmi dan formal, ada yang ngomel-ngomel di luar sidang.
Jika persoalannya dirasa ada di Pengadilan, sebetulnya hukum acara di Pengadilan sudah menyiapkan perangkat upaya hukum bagi yang tidak puas atas putusan pengadilan tersebut, karena berbagai aturan dalam hukum acara sudah tersedia dengan jelas.
Omelan itu diatraksikan dengan berbagai macam, marah-marah di luar ruang sidang, sambil memaki-maki Hakim atau petugas di pengadilan yang ikut bersidang.
Ada juga menyampaikan kekesalan itu dihadapan media, kemudian oleh media dikutip secara sepihak omelan ketidak puasan itu tanpa mengutip putusan pengadilan yang sudah dinyatakan secara resmi dalam sebuah persidangan, sebagai keseimbangan berita.
Kemudian omelan yang dikutip itu menjadi konsumsi publik yang melihat, mendengar maupun membacanya, dan bisa dipersepsikan omelan itu sebagai sebuah kebenaran oleh Publik.
Namun ada juga yang memperhatikan sambil tertawa, bahwa proses sudah dilakukan oleh Pengadilan, dan semua pihak pasti sudah diberi kesempatan berdalil dan berdalih.
Pihak-pihak yang tidak puas tersebut, ada yang menyampaikan “saya sama sekali tidak melakukan seperti dalam putusan itu”, “saya tidak mengakui putusan itu, Hakim melakukan kecurangan”, “Hakim telah melakukan kecurangan”, “Hakim telah melakukan kesalahan, saya dikriminalisasi”, dll.
Terkadang umpatan juga dilontarkan.
Khalayak sebaiknya mulai bijak, dan memahami sistem peradilan di Indonesia, baik oleh Pengadilan, Kejaksaan, Penyidik Kepolisian, maupun penegak hukum lainnya, atraksi omelan oleh salah satu pihak sebaiknya difahami sebagai cara pandang atau persepsi salah satu pihak, bukan gambaran lengkap produk penegakan hukum.
Meskipun saat ini masih ada sisi gelap yang dirasakan kurang jujur, kurang adil, rekayasa, intervensi, tidak profesional dalam sistem peradilan di Indonesia di semua level, itu bukan nilai sapu rata sebuah persoalan, akan tetapi nilai kasuistis bersudut pandang yang masih harus dikonfirmasi lebih mendalam.
Cara pandang di level implementasi memanglah seperti itu, bak cerita silat yang memenuhi langit persoalan, seperti seorang yang buta sejak kecil yang mempersepsikan bentuk gajah, dari sudut mana pihak si buta itu memegang si gajah.
Ini hanyalah sebuah perumpamaan. Pihak yang bersengketa bukanlah Si Buta tadi, melainkan pengibaratan cara padang sebuah persoalan.
Persepsi bisa juga terhadap sudut jalannya hukum acara, lembaga sistem peradilan, atau dari sisi penegak hukumnya, Polisi, Jaksa, Penasehat Hukum, Hakim, bukti-bukti, dan lain-lain.