Langkah ini melahirkan akulturasi dosen-dosen yang berlatar kultur ilmu pendidikan dengan para mahasiswa S2, S3 ilmu murni di UI dan ITB.
"Kami kemudian bertanya kenapa guru yang mengajar di sekolah-sekolah itu tidak dilahirkan dari Universitas. Apakah kalau di universitas kemudian hilang jiwa gurunya? apakah branding guru yang bagus harus dari yang mono culture?" ujar Prof Dr Sutjipto yang optimistis interaksi calon guru dan mahasiswa ilmu murni di universitas hasil konversi akan saling memperkaya ilmu pengetahuan.
"Kemudian saya dan beberapa rektor dikirim ke Monash University, Melbourne Australia, kemudian ke Brockport di New York, dan beberapa lainnya dikirim ke Jepang, Italia, dan ke mana-mana. Kami semua kemudian menjadi tim yang bekerja di Dikti untuk merumuskan perubahan yang tujuannya memperkuat pendidikan yang ada di IKIP. Semula kesepakatannya tidak mentransformasi IKIP menjadi universitas tetapi memperluas mandat IKIP untuk meluluskan lulusan yang kualifikasinya sama dengan lulusan universitas," jelas Sutjipto.
Saat transformasi IKIP menjadi universitas sudah diambang pintu, para rektor IKIP Negeri pun membuat janji bersama.
"Saya dari IKIP Jakarta, Pak Johar MS, dari IKIP Negeri Yogyakarta, rektor IKIP Negeri Makassar, IKIP Padang, IKIP Malang, dan sebanyak 10 rektor IKIP Negeri berjanji tidak akan menomorduakan ilmu pendidikan saat IKIP telah menjadi universitas," ungkap Sutjipto.
Pada Agustus 1999 IKIP Jakarta yang dipimpin Prof Dr Sutjipto, dan 4 IKIP lainnya diresmikan oleh Pemerintah RI menjadi Universitas.
Prodi Perkuliahan harus Fleksibel
Terlepas adanya anggapan umum bahwa IKIP merupakan perguruan tinggi kelas 2 karena design competency based guru pas bandrol yang dipahami secara salah oleh mahasiswa dan juga pemerintah sendiri, sesungguhnya sebagai institusi pendidikan IKIP tidak akan mampu mendukung perkembangan ilmu pendidikan.
Design pas bandrol, input mahasiswa yang berasal dari lapis kedua secara kualitas, dan dukungan fasilitas pemerintah yang standar pembelajaran saja, justru menjadi lahan tandus untuk bisa menumbuhkan benih ilmu pendidikan.
Itu sebabnya, pasca konversi, Prof Dr Sutjipto men-design Perguruan Tinggi menjadi tiga bagian besar universitas: Fakultas non kependidikan di satu pihak (Fakultas Biologi, Matematika, dan ilmu murni lainnya).
Di pihak lainnya ada Fakultas Ilmu Pendidikan yang mengembangkan ilmu pendidikan.
Kemudian Lembaga Professional Teacher Education, yaitu bagian besar universitas yang mempertemukan program studi-program studi dengan Fakultas Ilmu Pendidikan.
Mereka yang sejak semula ingin menjadi guru, maka langsung masuk ke dalam Lembaga yang dinamakan Professional Teacher Education yang benar-benar mengembangkan kapasitas profesional seorang guru, baik dari penguasaan ilmu pengetahuan, maupun jiwa pembelajaran para murid.
"Kalau ini bisa kita jalankan, guru itu adalah guru-guru yang betul bagus, tadi itu yang dituntut: IKIP = Iki piye (keraguan akan bagaimana kualitas IKIP ?) Itu bisa kita hilangkan," ujar Prof Dr Sutjipto.
Sejalan dengan itu, Prof Dr Sutjipto sepakat bila di Universitas hasil konversi, ilmu pendidikan sangat penting ditempatkan menjadi core yang mewarnai semua kegiatan IKIP.
Langkah tersebut perlu dilakukan agar ilmu pendidikan mampu tumbuh subur sehingga mampu menjawab tantangan pendidikan saat ini.