Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
TRIBUNNEWS.COM - Setelah Suryadharma Ali, kini M Romahurmuziy. Bila terjadi sekali ladi, maka Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menciptakan “hattrick” sebagai partai politik yang tiga kali “berhasil” menjebloskan ketua umumnya ke “gawang” (bui) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Romy, sapaan akrab anggota Komisi XI DPR RI itu, ditangkap KPK pada “Jumat keramat”, 15 Maret 2019 dalam operasi tangkap tangan di Jawa Timur.
KPK kemudian menetapkan Romy sebagai tersangka jual beli jabatan di Kementerian Agama, bersama dua tersangka lainnya, yakni Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jatim Haris Hasanuddin dan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Gresik M Muafaq Wirahadi.
Pada 23 Mei 2014, KPK menetapkan Suryadharma Ali (SDA) sebagai tersangka korupsi dana haji di Kemenag.
Selain sebagai Ketua Umum PPP, saat itu SDA menjabat Menteri Agama RI.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 11 Januari 2016 menjatuhkan vonis 6 tahun penjara kepada mantan anggota DPR RI dan Menteri Koperasi itu.
Awal Juni 2016, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat hukuman SDA menjadi 10 tahun penjara.
PT DKI juga menambah hukuman berupa pencabutan hak politik SDA selama lima tahun setelah pidana penjara selesai dijalani.
Dari balik jeruji besi, SDA pun menanti putusan Peninjauan Kembali (PK) dari Mahkamah Agung (MA).
SDA terpilih sebagai Ketua Umum PPP pada Februari 2007 menggantikan Hamzah Haz, sampai akhirnya ia harus melepaskan jabatannya pada 16 Oktober 2014.
Sepeninggal SDA, PPP terbelah dua, antara kubu Romy dan kubu Djan Faridz.
Romy, yang keabsahannya diakui pemerintah dan pengadilan, dianggap “mengkudeta” SDA. Apakah ia terkena “karma politik” sehingga mengikuti jejak SDA mendekam di penjara?
Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, petinggi PPP terlibat korupsi bukan monopoli SDA dan Romy.