Banyak yang mengaitkan hilangnya Widji Thukul dan sejumlah aktivis anti-rezim Orde Baru lainnya dengan Prabowo Subianto, mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang kini kembali menjadi rival Jokowi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Fitnah, hinaan dan berita palsu alias hoaks, sejak menjelang Pilpres 2014 memang kerap diasosiasikan dengan Prabowo Subianto, misalnya tabloid “Obor Rakyat” yang berisi fitnah terhadap Jokowi.
Terbukti kemudian pengelola “Obor Rakyat”, Darmawan Sepriyosa dan Setyardi Budiono, divonis masing-masing 1 tahun penjara.
Sempat bebas bersyarat, Darmawan dan Setyardi kembali dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta Timur, karena dianggap meresahkan masyarakat terkait rencananya menerbitkan kembali “Obor Rakyat (Reborn)” menjelang Pilpres 2019.
Namun, Darmawan dan Setyardi tak seorang diri di hotel prodeo.
Kini ada Ratna Sarumpaet, pendukung Prabowo lainnya, yang ditahan di Polda Metro Jaya karena sedang menjalani serangkaian persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan terkait penyebaran hoaks penganiayaan dirinya.
Apakah berarti Jokowi dan Thukul memiliki “musuh” bersama (common enemy), yakni Prabowo, sehingga Jokowi pun terinspirasi sajak “Peringatan”?
Kita tidak tahu pasti. Yang jelas ada adagium, ”musuh dari musuh adalah teman”.
Sebagai “teman”, wajar jika Jokowi terinspirasi sajak Widji Thukul.
Sebagai “teman”, mestinya Jokowi berusaha menemukan jejak Widji Thukul, minimal jasad atau kuburannya, senyampang masih berkuasa.
Jokowi bisa mendorong Agum Gumelar, mantan Danjen Kopassus yang kini menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden, untuk membuka tabir rahasia kasus tersebut, mengingat Agum mengklaim mengetahui persis di mana para aktivis yang diculik tahun 1996-1997 itu dibuang atau dikuburkan.
Mengapa Jokowi seolah diam?
Inilah yang dimanfaatkan lawan-lawan politiknya, sehingga mereka berjanji bila Prabowo-Sandi terpilih, mereka akan membongkar kasus penculikan ini.
Musuh dalam Selimut