Oleh: M. Muchlas Rowie
Aktivis Muhammadiyah dan Ketua Yayasan Fosilat JGC
TRIBUNNEWS.COM - Ketika membayangkan seperti apa puncak peradaban manusia, maka salah satu yang muncul dalam benak kita atau siapa pun adalah dengan adanya kemajuan peradaban, maka ‘kualitas kehidupan menjadi utama’.
Termasuk ketika kita memasuki masa yang dikenal dengan era elektronik (electronic age).
Pada era elektronik, masyarakat mengenal alat komunikasi seperti radio telegram, telepon genggam (smartphone), televisi, tablet, ipad, dan internet.
Puncak pencapaian masa ini adalah ketika masyarakat memiliki kemudahan dalam menjalin komunikasi satu sama lain.
Kita lalu dihadapkan dengan dominasi era digital, dimana seseorang dapat dengan mudah terhubung dengan orang lain meski puluhan ribu kilo meter jaraknya, lalu dunia pun menjadi kampung global.
Sayangnya, seiring segala kemudahan yang kita raih, ternyata muncul pula persoalan dan kesulitan baru terutama untuk membangun kohesivitas yang menjadi perekat masyarakat sebelumnya.
Hal ini terjadi lantaran dibalik segala kemudahan ternyata ada pula banyak ‘gangguan’. Kita selalu terhubung dengan email, dengan pesan singkat, dengan sosial media, dan kita menggunakan telepon genggam kita selama 24 jam setiap harinya.
Kita datang ke restoran, dan kita melihat bahwa masing-masing anggota keluarga kita menggunakan telepon genggam untuk mengakses banyak hal dan malah tidak saling memperhatikan satu sama lain.
Kemajuan peradaban yang kita bayangkan sebelumnya akan berdampak pada meningkatnya kualitas hidup, ternyata malah sebaliknya membawa kemunduran, alih-alih kerusakan.
Bukan kualitas hidup yang kian bertambah, melainkan sebaliknya malah mengalami penurunan kualitas kehidupan yang sangat signifikan.
Dari sisi apa?
Bila meminjam ungkapannya Doktor Kamba, bahwa puncak peradaban adalah sopan santun, maka apa yang saat ini terjadi adalah sebaliknya.
Dimana sulit sekali kita menemukan sopan santun, rasa saling menghormati dan menghargai (akhlak) dalam chat-chat di media sosial kita saat ini, yang ada adalah caci maki dan sumpah serapah.
Tak ada lagi sekat antara tua maupun muda, laki-laki atau perempuan, guru atau pun murid, dan yang saat ini ramai diperbincangkan ulama dan bukan ulama.
Semua kehilangan sifat sosialnya lantaran lebih suka berhubungan lewat internet ketimbang bertemu secara langsung (face to face).
Perubahan pola dalam melakukan berinteraksi, membuat kita cenderung menutup diri dari pergaulan. Kita tak bisa membedakan ekspresi canda, tawa, marah, sedih, ataupun bahagia.
Sisi lain yang berubah adalah bagaimana cara orang berpikir. Karena merasa tak lagi memerlukan orang lain dalam mencari sesuatu, termasuk pengetahuan agama, maka seseorang merasa dapat menemukan kebenaran secara mudah.
Tinggal buka aplikasi pemudah video, lalu dengarkan. Atau cukup dengan berselancar di internet lalu seketika kepalanya merasa penuh dengan limpahan ilmu dan hidayah.
Kulminasi dari proses pencariannya tersebut adalah ‘merasa paling benar’. Dalam hal ini kurangnya latar belakang kafaah syar’iyah dan pendalaman bidang hukum Islam telah membuat kebanyakan orang saat ini cenderung untuk mengambil ayat-ayat yang mutasyabihat dan meninggalkan yang muhkamat.
Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa kurang luasnya wawasan, mendorong orang mencomot sepotong dalil lalu melupakan dalil lainnya. Akibatnya pemahaman seseorang menjadi tidak komprehensif.
Kita pun lalu menjadi mudah memberi vonis benar, salah, atau bahkan kafir kepada orang lain yang tak sama cara berpikirnya. Apalagi di saat media sosial semakin mendominasi literasi dan percakapan publik.
Dosa-dosa yang dilakukan oleh sebagian umat Islam ini sudah cukup dijadikan dasar untuk memposisikannya di dalam kekafiran.
Cara pandang hitam putih ini lalu kian nyata terasa dalam berbagai pernyataan pemimpin dan ummat Islam.
Aroma untuk memojokkan dan melemparkan setiap pikiran dan cara pandang yang berbeda terasa dalam sikap dan ucapan sehari-hari. Para pemimpin negeri Islam dan termasuk juga ulama pun dikafirkan karena dianggap mendiamkan kemungkaran.
Bagi mereka, pembiaran kemungkaran sudah cukup untuk memberi label penguasa atau pemimpin ‘kafir’
Pemahaman seperti ini jelas membawa siapa pun menjadi semakin eksklusif.
Adanya perbedaan akan menjadi legitimasi bahwa seseorang bisa dikeluarkan dari kelompoknya.
Minna dan minhum seringkali menjadi diksi yang dipilih untuk menegaskan sikap dan pendapatnya.
Bila ini hanya sekadar efek dari demam electronic age, mungkin kita masih bisa berharap badai ini segera cepat berlalu.
Tapi jika ini tak sekadar karena demam electronic age, maka tentu kita patut khawatir, jangan-jangan ini gejala lahirnya ‘khawarij model baru’ di tengah kita.
Karena dalam sejarahnya, orang-orang seperti inilah yang kita kenal sebagai kaum khawarij.
Diawali dengan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan. Lalu menyisakan konflik yang membelah ummat. Ada kekosongan Pemerintahan selama beberapa hari.
Fitnah berkembang meluas. Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi Khalifah dalam situasi yang genting. Muawiyah bin Abu Sufyan yang masih kerabat Utsman menuntut keadilan agar semua yang terlibat dalam konspirasi pembunuhan itu diadili dan dihukum.
Kesepakatan atau Tahkim yang terjadi antara kubu Ali dan kubu Muawiyah ditentang oleh kalangan yang kelak dinamakan Khawarij. Penentangan yang ekstrem karena mereka merasa dirinya yang paling benar dan kedua fihak harus diperangi. Mereka menyusun rencana untuk membunuh Ali dan Muawiyah. Namun dalam pelaksanaannya hanya Ali yang berhasil mereka bunuh.
Rasulullah sendiri sudah memberikan peringatan terkait golongan ini. Dalam suatu riwayat disebutkan,
"Sesungguhnya akan lahir dari orang ini suatu kaum yang membaca al-Qur’an tetapi tidak sampai melewati kerongkongannya, mereka membunuh orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Mereka terlepas dari Islam sebagaimana anak panah yang terlepas dari busurnya. Kalau aku menjumpai mereka sungguh akan aku perangi mereka sebagaimana memerangi kaum ‘Ad”
Demikianlah pemahaman ini berkembang dari masa ke masa.
Ciri khas Khawarij adalah mengkafirkan pemerintah kaum muslimin dan orang-orang yang bersama pemerintah tersebut (karena melakukan dosa-dosa besar). Disamping itu mereka juga memberontak kepada pemerintah kaum muslimin, menghalalkan darah dan harta kaum muslimin.
Kita atau siapa pun tentu sangat berharap, semoga ini bukan gejala dari kemunculan apa yang tadi disebut sebagai ‘Khawarij Model Baru’.
Tapi sebagai bagian dari masyarakat yang mendamba kemajuan peradaban patutlah kita waspadai.
Karena saat ini, nyata-nyata kita temukan; di bilik-bilik digital ada upaya menarik-narik klaim kebenaran ini ke ranah politik. Kulminasinya, orang yang berbeda pilihan dengan sangat mudah divonis tak berhak berada di kubu yang ‘benar’ alias keliru baik pilihan politik maupun ideologi yang dipahaminya.
Baginya, pilihan dan idelogi politik yang dianutnyalah yang benar. Semoga kita dijauhkan dari pikiran-pikiran ‘khawarij model baru’ yang tentu saja berpotensi memecah belah umat dan menghancurkan peradaban.