Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Saat menyambangi para relawannya di GOR Radio Dalam, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (24/4/2019), calon wakil presiden nomor urut 02 Sandiaga Uno mengakui Pemilu 2019 berlangsung jujur dan adil (Tribunnews.com, Rabu 24 April 2019).
Di saat yang sama, calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto menggelar syukuran klaim kemenangan sepihak di Padepokan Pencak Silat Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, di mana dalam acara ini bergema tuduhan Pemilu 2019 berlangsung penuh kecurangan.
Sandi, pelan tapi pasti, mulai mendengarkan dan mengikuti hati nuraninya yang mulai bicara.
Ibarat seekor domba, ia pun mulai meninggalkan para “serigala” yang selama ini menjadi kawanannya.
Baca: Prabowo Bilang Pemilu Curang, Sandiaga Uno Nilai Pemilu Jujur dan Adil
Sandi tak mau terjebak teori Plato (427-347 SM), di mana ketika sekelompok manusia sudah berkerumun menjadi massa, maka mereka akan kehilangan logika atau akal sehatnya.
Ups! Nanti dulu. Sandi bukanlah “domba”. Sandi adalah seekor “singa” yang kelak akan menjadi raja rimba. Sandi mulai menunjukkan kelasnya sebagai aktor politik yang patut diperhitungkan sebagai capres Pemilu 2024.
Bahwa selama masa kampanye Sandi banyak melontarkan isu-isu dan gerakan-gerakan yang kontroversial, seperti tempe setipis kartu ATM dan jurus bangau, itu cuma gimmick (gerak-getik tipu daya aktor untuk mengelabui lawan peran) politik semata sesuai arahan sang sutradara, dan gimmick merupakan salah satu strategi pemasaran (termasuk dalam politik).
Baca: Mahfud MD Ungkap Soal Sosok 'Pengadu Domba' Saling Serang ternyata 1 Komplotan, Cuma Mau Buat Kacau
Hati nurani, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti perasaan hati yang murni, yang sedalam-dalamnya, atau lubuk hati yang paling dalam.
Sesungguhnya sikap Sandi yang mulai mengikuti kata hati nuraninya ini sudah terlihat semenjak Prabowo, tandemnya, mendeklarasikan diri sebagai pemenang Pilpres 2019 di kediamannya di Jalan Kertanegara IV, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (17/4/2019) sore atau beberapa saat setelah lembaga-lembaga survei mulai merilis quick count (hitung cepat) hasil pemungutan suara Pemilu 2019. Saat itu Sandi tidak tampak mendampingi Prabowo.
Meskipun belasan lembaga survei hampir seluruhnya mengunggulkan pasangan capres-cawapres nomor urut 01, Joko Widodo-KH Maruf Amin atas Prabowo-Sandi dengan selisih suara sekitar 10%, namun Prabowo mengklaim sepihak sebagai pemenang pilpres dengan angka 62% berdasarkan hitungan lembaga internalnya. Belakangan diketahui data tersebut berasal dari kampus milik Prabowo di Bandung, Universitas Kebangsaan Republik Indonesia (UKRI).
Tak puas, Prabowo kembali melakukan deklarasi kedua kemenangan sepihak. Kamis (18/4/2019), Sandi tampak hadir.
Namun ia tampil dengan raut muka beku dan kaku, konon karena sedang menahan rasa sakit, entah sakit apa. Seorang psikolog kemudian menafsirkan Sandi “sakit hati” karena mengingkari suara hati nuraninya sendiri dengan menghadiri deklarasi itu.
Spekulasi liar pun merebak: Sandi tidak sependapat dengan Prabowo soal klaim sepihak kemenangan itu. Apalagi konon Sandi sempat dimarahi dan diusir Prabowo; suatu hal yang tentu saja langsung dibantah para elite Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi.
Terbukti kemudian, tafsir atas body language (bahasa tubuh) yang ditunjukkan Sandi saat mendampingi Prabowo nyaris menemukan kebenarannya.
Sandi pun meminta para investor untuk langsung berinvestasi di Indonesia, tak perlu menunggu pengumuman hasil pemilu yang akan digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Mei 2019. Isyarat Sandi kian terang-benderang saat menyatakan Pemilu 2019 ini berlangsung jujur dan adil.
Akankah Sandi menerima hasil pemilu, dan bersebarangan dengan sikap kelompoknya yang menolak karena pemilu dinilai sarat kecurangan, bahkan disebut brutal, sehingga untuk menolaknya pun perlu people power (pengerahan massa), atau ada usul digelar pemilu ulang?
Mungkin hanya soal waktu. Sikap final Sandi akan terlihat saat KPU mengumumkan hasil Pemilu 2019.
Bila benar Sandi secara kesatria mau menerima apa pun hasil pemilu, maka tak berlebihan bila dikatakan ia seorang negarawan sejati. Ia telah, sedang dan akan terus berproses, dari pengusaha menjadi politisi, dan dari politisi menjadi negarawan pada akhirnya.
Dengan Sandi keluar barisan dan menempuh “jalan samurai”, diyakini separuh lebih kekuatan Prabowo dan para pendukungnya akan sirna, karena Sandilah tokoh utama penyedia amunisi elektoral.
Kubu Prabowo akan menjadi "lame duck" atau bebek lumpuh, meminjam istilah Amien Rais saat menyindir Presiden Jokowi yang ia anggap sudah kalah sehingga tak boleh lagi mengambil kebijakan-kebijakan strategis.
Diyakini tak akan ada lagi aksi-aksi demonstrasi menolak hasil pemilu, atau minimal berkurang, dan dengan demikian maka situasi dan kondisi politik Tanah Air akan jauh lebih tenang. Para investor pun akan datang.
Apalagi, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono sudah menginstruksikan kader-kadernya di BPN Prabowo-Sandi agar tidak terlibat tindakan-tindakan inkonstitusional.
Bila ancaman people power seperti yang dilontarkan Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais terwujud, maka gerakan itu inkonstitusional.
Pun, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan sudah bertemu dengan Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu (24/4/2019).
Usai pertemuan itu, Wakil Ketua Umum PAN Bara Hasibuan menyatakan PAN mempertimbangkan untuk keluar dari koalisi Adil Makmur, nama koalisi partai-partai politik pendukung Prabowo-Sandi.
Bahan Rebutan
Sikap Sandi yang demikian akan menjadikan dirinya sebagai bahan rebutan partai-partai politik menjelang Pilpres 2024. Ia akan menjadi sosok kandidat capres/cawapres yang kinclong dan sangat diperhitungkan.
Bila Anies Baswedan sukses sebagai Gubernur DKI Jakarta, maka Sandi bisa kembali berduet dengan Anies di Pilpres 2019 sebagaimana dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Keduanya bisa bertukar tempat, sebagai capres atau cawapres.
Mungkin Sandi menyadari masa depan politiknya masih sangat panjang mengingat kini ia baru berusia 49 tahun, sehingga berani mengambil jalan berseberangan dengan Prabowo.
Mungkin pula Sandi terinspirasi puisi "Aku" (1943) karya Chairil Anwar (1922-1949) yang berbunyi, "Aku ini binatang jalang / Dari kumpulannya terbuang / Biar peluru menembus kulitku / Aku tetap meradang menerjang / Luka dan bisa kubawa berlari / Berlari / Hingga hilang pedih perih / Dan aku akan lebih tidak peduli / Aku mau hidup seribu tahun lagi".
Lalu, bila nanti terbukti Prabowo kalah, maka mantan Komandan Jenderal Kopassus itu diniscayakan akan lengser dari jabatan Ketua Umum Partai Gerindra.
Partai berlambang Garuda ini tentu akan melirik Sandi sebagai prioritas utama untuk jabatan ketua umum, meskipun menjelang pilpres kemarin Sandi sempat melepaskan jabatannya sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra dan bergabung dengan PAN. Bergabungnya Sandi ke PAN ini diyakini hanya sebagai basa-basi politik semata.
Sebagi peraih suara terbanyak kedua di Pemilu 2019 setelah PDI Perjuangan, sesuai hasil sementara real count KPU, maka hanya berkoalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), PAN atau Partai Demokrat (PD) saja, Gerindra akan dapat mengajukan capres, dan diyakini akan memprioritaskan Sandi.
PAN juga nanti akan mencari sosok capres/cawapres untuk Pilpres 2024. Sandi pun akan dilirik dan bersaing dengan Zulkifli Hasan.
PKS dan PD pun akan setali tiga uang. PKS dan PD, yang dalam Pilpres 2019 ini berkoalisi dengan Gerindra dan PAN, diyakini hanya akan mengajukan kandidat di level kedua, yakni cawapres.
Bukan tidak mungkin pula PDIP yang belum punya tokoh sekaliber Jokowi atau Ketua Umum Megawati Soekarnoputri akan melirik Sandi, minimal sebagai kandidat cawapres di Pilpres 2024.
Konon, kekuatan suara hati nurani manusia setara dengan kekuatan Tuhan, karena suara hati nurani yang bersih berasal dari Tuhan. Tak seorang pun mampu mematahkan kekuatan Tuhan. Dalam konteks pemilu, suara Tuhan mewujud sebagai suara rakyat, “vox populi vox Dei”.
Akankah Sandi dipilih Tuhan sebagai pemimpin masa depan Indonesia? Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, bila konsisten dengan suara hati nuraninya, maka Sandi tidak akan sekadar menjadi “domba”. Ia akan menjadi “singa” si raja rimba.
Bagi Sandi, konsisten atau istikomah dengan suara hati nuraninya berarti pula konsisten menolak kembali duduk di kursi Wakil Gubernur DKI Jakarta, bila nanti ia benar-benar kalah bersama Prabowo dalam Pilpres 2019.
Namun bila tergoda untuk kembali menjadi wagub, maka dipastikan akan banyak cibiran, dan dengan itu maka Sandi tak akan diperhitungkan lagi sebagai calon pemimpin masa depan. Itulah!
Karyudi Sutajah Putra: Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.