Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, pernyataan Wiranto tersebut mencerminkan kepanikan penguasa.
Maklum, saat ini pemerintah menghadapi kencangnya badai fitnah terhadap penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang berkali-kali didiskreditkan dan didelegitimasikan serta mengalami character assassination oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab, utamanya melalui media sosial (medsos), dan mungkin juga melalui media massa yang oleh Wiranto disinyalir, “membantu pelanggaran hukum.”
Pemerintah juga menghadapi ancaman people power (pengerahan kekuatan massa) untuk menolak hasil Pemilu/Pilpres 2019 yang dilontarkan sejumlah tokoh seperti Habib Rizieq Syihab, Amien Rais hingga Eggi Sudjana.
Kalau memang ada akun medsos yang disinyalir “membantu pelanggaran hukum”, mungkin tidak terlalu bermasalah bila ditutup, asalkan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informasi, dapat membuktikan tudingan “membantu pelanggaran hukum” tersebut, dan tentu saja “pelanggaran hukum” dimaksud sebagai “induk”-nya harus dapat dibuktikan terlebih dahulu.
Tapi kalau ada media massa disinyalir “membantu pelanggaran hukum” lalu hendak ditutup, selain harus melewati proses sebagaimana terhadap medsos, juga harus melalui Dewan Pers.
Bahkan sebelum ke Dewan Pers, pemerintah bisa mengajukan hak jawab hingga somasi bila merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa atau pers.
Dewan Pers telah meminta Wiranto segera mengklarifikasi pernyataannya itu apakah menyangkut media massa (pers) atau medsos, karena saat itu mantan Panglima ABRI ini berbicara dalam konteks medsos juga.
Menurut Dewan Pers, jika yang dimaksud adalah media pers, maka sangat bertentangan dengan Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Artinya, kalau media pers bisa ditutup atau dibredel, Indonesia kembali ke zaman Orba di mana pers bisa disensor dan diintervensi.
Padahal, kebebasan pers telah dijamin UU No 40 Tahun 1999 tersebut.
Sejatinya pemerintah atau petahana Presiden Jokowi tak perlu panik menghadapi isu people power usai pengumuman hasil pemilu pada 22 Mei 2019 nanti.
Pasalnya, berdasarkan hasil penghitungan sementara KPU, selisih suara antara pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 01, Jokowi-KH Maruf Amin dengan nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, cukup jauh, yakni lebih dari 13,5 juta suara.
Jadi, potensi terjadinya chaos atau kerusuhan di tingkat grass roots (akar rumput) sangat kecil, kecuali selisihnya hanya sedikit.
Kalau ada konflik, itu hanya terjadi di tingkat elite.