oleh Andrew Tan
Direktur Regional Asia Tenggara di Nexign
TRANSFORMASI digital telah sukses menyorot berbagai pelaku industri, memaksa perusahaan untuk mengaji ulang proses bisnis mereka dari awal.
Banyak pabrik memanfaatkan Internet of Things (IoT) untuk memungkinkan pemeliharaan secara prediktif, para peritel mendapat pandangan holistik atas pelanggannya sehingga bisa memberikan layanan personal yang cepat.
Bank kini menawarkan kemudahan serta kenyamanan bertransaksi baik dari rumah, melalui aplikasi mobile / situs web, maupun di ATM terdekat, semuanya demi meningkatkan kepuasan pelanggan dan tetap selangkah lebih maju dari kompetitor.
Ini adalah bukti nyata transformasi digital; Ia menawarkan potensi untuk mengarungi arus revolusi dan menjadi yang teratas.
Industri telekomunikasi juga mengalaminya.
Dalam laporan "Communications Service Providers (CSPs) digital transformation” perusahaan riset Analysys Mason bahkan menyatakan bahwa para penyedia layanan komunikasi tidak memiliki pilihan untuk mengubah bisnis dan sistem operasi mereka.
Pilihannya: "digitalisasi atau mati".
Operator telekomunikasi di Asia Tenggara mengakui hal ini, seperti tertulis dalam laporan terbaru ICT Enterprise Insights dari Ovum, yang menunjukkan bahwa sektor telekomunikasi adalah yang terdepan dalam digitalisasi, dengan skor indeks kematangan-perkembangan 43,9%, mengalahkan pabrikan dan peritel inovatif, bahkan melampaui sektor perbankan.
Para operator ini telah meluncurkan inisiatif baru dalam upaya mereka menjadi Penyedia Layanan Digital (Digital Service Provider - DSP), karena menyadari model bisnis digital baru ini adalah cara menjaga nilai kompetitif mereka di pasar serta menciptakan sumber pendapatan mutakhir untuk bertahan di era baru ini.
Saat ini, masing-masing CSP harus bertanya kepada diri sendiri:
● Apa yang dilakukan bisnis saya untuk keluar dari rantai pendapatan tradisional yang stagnan?
● Bagaimana kita memaksimalkan keuntungan dari transformasi digital?