Oleh: Rudi S Kamri
Pengamat Sepak Bola
TRIBUNNEWS.COM - Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) tidak lama lagi akan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa (KLB) untuk memilih nakhoda baru.
Meskipun waktunya masih simpang-siur apakah tetap pada 2 November 2019 sesuai kehendak para pemilik hak suara (voters) atau 25 Januari 2020 yang menurut klaim PSSI atas permintaan Federation of International Football Association (FIFA), tapi sudah banyak kandidat yang ancang-ancang untuk ikut berlaga merebut kursi PSSI-1 atau Ketua Umum PSSI.
Meskipun secara formal pemerintah atau Presiden Joko Widodo tidak punya kepentingan secara langsung dengan suksesi di PSSI, tapi pada kenyataannya para voters, khususnya yang di daerah tetap mengharapkan sinyal dari Istana.
Sinyal dukungan dari RI-1 dirasakan sangat penting bagi para voters sebagai referensi pilihan mereka.
Sebagai informasi, berdasarkan Statuta PSSI saat ini, Komite Eksekutif PSSI (ketua umum, 2 wakil ketua umum, dan 12 anggota) dipilih oleh para pemilik hak suara atau sering disebut voters.
Saat ini yang punya hak suara adalah 34 Asosiasi Provinsi (Asprov) PSSI se-Indonesia, 18 klub Liga 1, 16 besar klub Liga 2, dan 16 besar klub Liga3, serta satu suara dari Asosiasi Futsal dan satu suara dari Asosiasi Sepak Bola Wanita. Jadi, total jumlah yang mempunyai hak suara adalah 86 voters.
Sejatinya kalau boleh jujur, sangat aneh kalau PSSI terlalu alergi dengan campur tangan pemerintah, karena pada kenyataannya selama ini fasilitas dan infrastruktur sepak bola khususnya lapangan dan stadion yang mereka gunakan merupakan aset pemerintah.
Berbeda dengan klub profesional di Eropa atau negara maju lainnya, dalam catatan perkembangan sepak bola di Indonesia sampai saat ini belum ada satu pun klub profesional yang mampu membangun lapangan sepak bola sendiri.
Di samping itu, PSSI yang merupakan anggota Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) juga masih menerima subsidi anggaran dari negara. Jadi, agak menggelikan kalau PSSI selalu berlindung di balik Statuta FIFA agar tidak dicampuri oleh pemerintah.
Kenyataan ini mungkin yang dilihat oleh para voters, sehingga dalam setiap suksesi di tubuh PSSI mereka masih merasa perlu menunggu sinyal kuat dari Istana.
Dalam benak mereka kalau Ketua Umum PSSI merupakan figur yang direstui Istana, maka akan mudah dalam perkembangan sepak bola di Indonesia. Apalagi mereka juga tahu kepedulian dan perhatian Presiden Jokowi terhadap olah raga sepak bola sangat besar.
Hal ini dapat dilihat dari turunnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Sepak Bola Nasional. Pertimbangan para voters dalam hal ini sangat masuk akal dan bisa dimengerti.
Pertanyaannya, siapa yang layak memberikan masukan konstruktif kepada Presiden Jokowi tentang figur yang berkualitas untuk memimpin PSSI?