Oleh: Sumaryoto Padmodiningrat
TRIBUNNEWS.COM - Bila pada zaman kolonial Belanda ada politik etis, sekarang ini di Indonesia ada politik balas budi.
Tapi mungkin wajar, karena politik adalah take and give (menerima dan memberi).
Presiden Joko Widodo, Rabu (23/10/2019) di Istana Merdeka, Jakarta, mengumumkan kemudian melantik nama-nama menteri dalam kabinet yang ia namakan Kabinet Indonesia Maju, melanjutkan Kabinet Indonesia Kerja.
Dua hari kemudian, Jumat (23/10/2019) di tempat yang sama, Presiden Jokowi melantik 12 wakil menteri.
Dilihat dari nama-nama menteri dan wakil menteri, secara umum dapat dikatakan bahwa Presiden Jokowi dalam menyusun Kabinet Indonesia Maju ini menerapkan politik etis atau politik balas budi.
Akan majukah Kabinet Indonesia Maju, dalam arti mampu menjadikan Indonesia sebagai negara berkemajuan? Masih penuh tanda tanya.
Yang jelas, untuk sementara pasar mereaksinya positif. Tapi bila kita lihat satu per satu wajah-wajah menteri dan wakil menterinya, ada pesimisme yang membuncah.
Kabinet masih didominasi wajah-wajah lama. Kalaupun ada nama baru, mereka masih diragukan kapasitasnya.
Sebut saja masuknya Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan. Reputasi Indonesia di dunia internasional akan berkonotasi negatif karena citra Prabowo lekat dengan dugaan pelanggar hak asasi manusia (HAM) berat.
Wajah soft power Indonesia akan tenggelam, dan akan digantikan dengan wajah sangar atau hard power.
Wajah sangar Indonesia akan kian bertambah menyeruak dengan hadirnya mantan Kepala Polri Jenderal (Purn) Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri.
Wajah sangar Indonesia makin sempurna dengan hadirnya mantan Wakil Panglima TNI Jenderal (Purn) Fahrul Razi sebagai Menteri Agama.
Ada lima mantan jenderal TNI dan seorang mantan jenderal Polri yang duduk di kabinet periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi ini.