Radikalisme Bukan Tugas Utama Kemenag
KH. Imam Jazuli, Lc., M.A.*
Komposisi Kabinet Indonesia Maju mencerminkan nalar Presiden Jokowi. Untuk mengisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, presiden menunjuk Mendikbud yang bukan dari dunia pendidikan, bukan guru besar pendidikan, dan sama sekali tidak memiliki background pendidikan. Nalar serupa terjadi ketika menunjuk Jenderal Purnawirawan TNI menjadi Menteri Agama.
Presiden memimpikan sebuah ‘lompatan’ pendekatan. Jika Kemendikbud diinstali pendekatan penguasaan teknologi yang berjejaring dengan dunia industri domestik maupun global, maka Kemenag ditanami nalar militerisme. Tak heran bila wacana awal bapak Menag adalah war (perang), sehingga Kemenag menjadi war-oriented institution (lembaga berpikir perang).
Lompatan pendekatan memang berdampak pada terciptanya pola jejaring (networking). Jika Kemendikbud yang semula mengurusi dunia pendidikan dan kebudayaan merambah dunia ekonomi dan pasar, maka Kemenag yang semula mengurusi wilayah keagamaan merambah wilayah keamanan dan ketertiban. Agama dipersepsikan sebagai sumber kekacauan, dan karenanya radikalisme agama harus diperangi dan ditertibkan. Orang-orang radikal harus diamankan.
Setiap ada ‘rambahan baru’ selalu ada yang kehilangan perhatian. Kemendikbud silahkan lanjut instalasi teknologi dan bisnis ke dalam kepentingan pendidikan dan kebudayaan. Tetapi jangan sampai lupa bahwa sejak tahun 1960-an, radikalisme agama yang ditandai dengan merebaknya Hizbut Tahrir tumbuh subur dan bahkan ‘menyusu’ pada perguruan-perguruan tinggi. Akankah kita pura-pura lupa pada sejarah?
Realitas itu masih berlaku hingga hari ini. Kaum radikalis masih nyaman bersarang di kampus-kampus dengan memangsa mahasiswa-mahasiswa baru yang polos dan tidak punya bekal agama mumpuni.
Melalui jalur-jalur pendidikan dan pelatihan, radikalisme diindoktrinasikan sampai menjadi sebuah ideologi yang mendarang daging pada diri pengikutnya. Hanya demi mengejar proyek teknologi dan benefit di era pasar bebas, haruskah Kemendibud abai hal ini?
Memang dalam konteks ini, Bapak Mendikbud telah memberikan perspektif baru dalam melihat fenomena radikalisme. Menurutnya, perkembangan teknologi informasi membawa serta efek negatifnya, tidak saja pornografi, narkoba, pergaulan bebas, melaikan juga radikalisme dan terorisme.
Semoga ke depan, applikasi yang dijanjikannya pada bapak presiden dalam kerja 100 hari mampu menangkal efek negatif teknologi yang mau dikembangkannya 5 tahun ke depan itu.
Kemenag silahkan lanjutkan perang melawan radikalisme dan terorisme, yang sejatinya wilayah Kemendikbud, Kemenhan, Menkopolhukam, atau BNPT. Sebab, ‘isme-isme’ berbahaya ini adalah ideologi yang abstrak, halus, lembut dan hanya terlihat bila muncul sebagai aksi. Padahal, ‘isme-isme’ ini bagaikan fenomena gunung es, yang akarnya jauh lebih berskala besar.
Sebelum dilantik menjadi Menhan, Letnan Jenderal (Purn) H. Prabowo Subianto mengomentari kasus penusukan Menkopolhukam Wiranto di Pandeglang. Katanya, radikalisme tidak boleh ada di Indonesia. Paska pelantikan Menhan, sudah pasti Prabowo akan gencar melawan radikalisme. Apalagi ia banyak mendapat titipan dari rakyat agar tidak saja mengatasi radikalisme di kalangan masyarakat sipil melainkan juga 3% radikalis anggota TNI.
Menko Polhukam, Prof. Dr. Mahfud MD, S.H., S.U., M.I.P., telah dengan terang-terangan, tanpa perlu terjemahan, mengatakan bahwa Menkopolhukam akan menangani orang-orang radikal dengan sangat serius, bahkan tidak peduli berasal dari agama Islam atau tidak. Jika pun orang radikal itu beragama Islam maka ia dihukum bukan karena agamanya melainkan karena perilakunya yang radikal.
Menag yang merambah wilayah Menkopolhukam bukan menambah luas perspektif, paradigma dan pendekatan dalam penanganan radikalisme-terorisme, tetapi malah menyempitkan. Sebab, Menag akan melihat radikalisme sebagai fenomena agama sementara Menkopolhukam melihatnya sebagai perkara politik, hukum dan keamanan. Sangat disesalkan bila bapak Menag bereuforia dengan wacananya sendiri.
Lebih miris lagi, dalam kacamata Kemendikbud, fenomena radikalisme-terorisme bukan perkara agama semata. Mendikbud mengatakan, radikalisme agama adalah efek negatif yang dibawa langsung oleh teknologi informasi, yang tidak mampu disaring dan ditangkal oleh kapasitas SDM yang rendah. Sehingga, Menag yang mendefinisikan radikalisme agama sebagai persoalan agama menyebabkan peyorasi atas pendekatan Kemendikbud maupun Menkopolhukam.
Jenderal (Purn) TNI Fachrul Razi harus mau berlapang dada dan duduk menyimak dengan baik apa yang dikatakan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Bapak Suhari Alius meminta kepada seluruh pihak, termasuk bapak Menag (?), untuk tidak mengaitkan tampilan pakaian seseorang dengan radikalisme. Menurutnya lagi, radikalisme itu ideologi bukan penampilan.
Ditambah lagi, Kepala BNPT telah bergerak lebih jauh dari Menag, yakni dengan membagi-bagikan daftar nama mantan teroris kepada kepala-kepala daerah. Ini dalam rangka kepala daerah bisa memonitoring orang-orang yang terpapar ideologi garis keras-radikal. Akhir kata harus disampaikan, Menkopolhukam, Kemendikbud, dan BNPT memiliki perspektif yang lebih luas dibanding Menag dalam melihat fenomena radikalisme.
Jangan salah arah. Kemenag harus tetap berada pada jalur yang sudah menjadi kodratnya. Menkopolhukam, Kemendikbud, dan BNPT tidak akan mengurusi haji dan umroh, pendidikan madrasah dan pondok pesantren. Jika Kemenag ikut campur dalam urusan orang lain, siapa yang akan mengurusi urusannya sendiri?
*Penulis adalah alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2010-2015.