Pak Menag, Lakukan ini untuk Kemenag, Jangan Menebar Kontroversi!
Oleh KH. Imam Jazuli, Lc., M.A.*
Sekiranya Menag tetap bersikukuh harus menuntaskan persoalan radikalisme terlebih dahulu, tulisan ini minimal membicarakan perkara paska 100 hari pertama masa jabatan bapak Jenderal (Purn) Fachrul Razi di Kemenag. Dalam 100 hari pertama itu, semoga program penanganan radikalisme sudah terang benderang, kemudian segera bergegas move on ke tugas-tugas urgen Kemenag lainnya.
Reformasi birokrasi menempati urutan tangga pertama. Berdasar penilaian Kemen PANRB 31 Desember 2018, indeks Kemenag baru mencapai 74,02 atau kategori BB. Untuk meningkatkan nilai indeks tersebut, dibutuhkan perbaikan mendasar pada delapan area perubahan yang meliputi: pola pikir dan budaya kerja, organisasi, tata laksana, peraturan perundang-undangan, sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, dan pelayanan publik.
Pola pikir dan budaya kerja merupakan aspek paling penting. Kemana sebuah lembaga akan dibawa tergantung pada visi nakhodanya. Lembaga pendidikan dan kebudayaan bisa dibawa ke dunia bisnis karena nakhodanya seorang pengusaha, begitu pun Kemenag. Ia bisa dibawa ke dunia militerisme karena nakhodanya seorang mantan prajurit. Akselerasi reformasi birokrasi bergantung pada visi jangka panjang pemimpinnya.
Kedua, penataan sumber daya manusia yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Kemenag merupakan perkara yang tidak kalah penting. Banyak direktorat yang harus dikelola oleh orang-orang berpengalaman dan profesional; keagamaan, pendidikan, haji dan umrah, Bimas, isu halal, dan lainnya. Penataan SDM ini akan terbengkalai bila Menag tidak memiliki pola pikir atau visi yang komprehensif.
Katakanlah waktu, pikiran dan tenaga Menag terkuras habis hanya oleh satu kasus; radikalisme. Lantas, bagaimana nasib pendidikan, haji-umroh, isu halal dan lainnya? Atau, misalnya, konflik dalam selimut antara Kemenag dan MUI—memperebutkan kuasa sertifikasi halal—akan dibiarkan? Semua masalah ini tidak akan tuntas bila Menag belum memiliki pola pikir komprehensif.
Sertifikasi produk halal ini bukan perkara hukum fiqih saja. Di dalamnya terdapat banyak fungsi, tidak saja fungsi bisnis melainkan juga fungsi politik bisnis. Fungsi bisnisnya, salah satunya, masyarakat butuh jaminan halal untuk mendukung, melindungi, usaha mereka. Secara psikologis, pasar juga merasa aman dan nyaman dalam memberi produk-produk bersertifikasi halal. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi akan berkembang pesat.
Namun, bila Menag tidak memiliki pola pikir yang holistik dan budaya kerja yang profesional, maka kebutuhan mendesak umat macam ini akan terbengkalai. Usaha-usaha pengembangan ekonomi syariah akan terhambat oleh birokrasi yang lamban, sehingga mendapatkan sertifikasi halal sangat lama, mahal, atau berbelit-belit.
Politik bisnisnya adalah layanan sertifikasi halal ini hanya akan dinikmati oleh korporasi-korporasi besar yang bermodal unlimited. Sementara rakyat kecil yang baru pemula dijadikan “anak tiri”. Jangan sampai opini publik yang menilai sertifikasi halal hanyalah mainan kaum kapitalis itu mendapatkan legitimasinya.
Catatan penting lainnya, problem haji dan umroh yang paling dirasakan umat muslim adalah jarak tunggu yang begitu lama. Panjangnya antrian 15 sampai 20 tahun adalah problem utama bagi mereka yang baru bisa daftar di usia 50-60an. Tahun 2016, laporan Bank Dunia mengatakan, usia harapan hidup Indonesia dari 50-65 tahun. Dengan kata lain, mereka yang mendaftar di usia 50an sedang berjudi apakah bisa berangkat ke tanah suci atau tidak.
Tahun 2019, 63% jamaah haji Indonesia dalam kategori lanjut usia. Sementara Kemenag hanya memberikan tambahan kuota 10 ribu jamaah dan proseduer percepatan keberangkatan. Tidak ada salahnya, Kemenag meminjam ide mantan kandidat presiden, Prabowo Subianto, melobi Kerajaan Arab Saudi agar memberi izin membangun hotel sebagai layanan khusus bagi umat muslim terbesar di dunia, menambah kuato jamaah 5 ribu per tahun selama lima tahun ke depan.
Ketiga, layanan keagamaan publik harus disesuaikan dengan perkembangan jaman. Salah satunya, tapi bukan satu-satunya, kebutuhan generasi milenial kita. Tahun 2018 Bappenas mengatakan jumlah generasi milenial kita sebesar 90 juta. Kemudian Kementrian Kominfo mengutip hasil riset ilmiah yang menyebutkan pola perilaku generasi milenial itu adalah streaming native. Kecanduan akan akses pada internet.
Jika Kemenag hendak memberantas radikalisme, layanan keagamaan berbasis online ini juga penting. Deradikalisasi tidak mesti harus dilakukan dengan pelarangan cadar, celana cingkrang, perintah khotbah dan berdoa dengan Bahasa Indonesia, atau hal-hal parsial lainnya. Tetapi, bisa digalakkan pendidikan dan pengajaran online yang mengarang pada deradikalisasi.
Satu hal yang mungkin bisa jadi pertimbangan Kemenag bila hendak memberikan layanan keagamaan publik yang berbasis online; yaitu “pondok pesantren online”. Hal sudah dilakukan secara sporasi oleh masyarakat yang peduli pada pendidikan pesantren berbasis koneksi internet. Tetapi, dukungan serius dari Kemenag akan memberikan daya lebih bagi perjuangan mereka yang luar biasa.
Keempat, memanfaatkan dan mendorong potensi umat yang beragam untuk pemberdayaan, edukasi, penguatan literasi keagamaan, dan inovasi kreatif yang sangat variatif. Kemenag juga tidak ada salahnya bila memberikan penghargaan terhadap karya-karya kreatif-inovatif masyarakat di bidang keagamaan.
Jika bapak Menag pernah turun langsung ke lapangan, memantau kehidupan kreatif para santri, misalnya, pasti akan menemukan banyak pondok-pondok pesantren yang jauh lebih serius berjuang untuk bangsa dan negara dibanding pemerintah sendiri. Memang benar sebagian pondok pesantren bergantung pada dana sumbangan dari pemerintah, tetapi jauh lebih banyak pondok pesantren yang hidup mandiri dalam mengabdi pada umat dan negeri.
Dukungan Kemenag pada kreasi dan inovasi masyarakat di bidang keagamaan selain akan memberikan daya tambah juga akan meningkatkan dukungan moril. Masyarakat nantinya tidak akan mudah terpengaruh oleh opini liar bahwa negara sering kali tidak hadir dalam perkara-perkara urgen masyarakat di lapangan.
Banyak pesantren yang berkolaborasi dengan masyarakat untuk mengelola UMKM, agribisnis, kesehatan, perdagangan, dan lainnya yang semua itu berbasis nilai-nilai keagamaan. Tidak sedikit masyarakat pesantren dan pondok pesantren yang bisa mandiri dari usaha-usaha ini. Tetapi, negara (dalam hal ini Kemenag) jarang hadir.
Kelima, Undang-undang Pesantren adalah kekuatan besar bagi Kemenag. Di sana sudah ada jaminan bahwa APBD dan APBN dapat dipergunakan bagi kepentingan masyarakat di sekitar dan komunitas pesantren, mulai dari aspek pendidikan dan infrastruktur, hingga peningkatan sumber daya manusia dan pembekalan soft skill yang dibutuhkan jaman. Otoritas menerjemahkan UU Pesantren menjadi program kerja yang bardaya massif, terstruktur, ada di tangan Kemenag. Tinggal secara terbuka dan fairplay saja menjaring usul dan ide dari publik.
Terakhir, yang paling penting, Kemenag harus melanjutkan visi moderasi agama. Semua agama yang diakui negara adalah moderat dan damai. Jika muncul kelompok agama yang radikal, itu hanya segelintir. Karenanya, menghadapi mereka yang radikal harus tetap dengan cara yang moderat dan santun. Inilah semua alasan kita mendambakan lembaga Kemenag yang memiliki visi jangka panjang, baik dalam berpikir maupun menentukan langkah strategis. Supaya tidak kaku dan militeristik.
*Penulis adalah alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Periode 2010-2015.