Penulis:
Petrus Selestinus
Koordinator TPDI dan Ketua Tim Task Force FAPP
PEMERINTAH masih bersikap "gamang" menghadapi FPI, tidak seperti halnya ketika Pemerintah membubarkan HTI.
Janji mendalami visi dan misi FPI tentang "penerapan Syariat Islam secara kaaffah di bawah naungan khilaafah Islaamiyyah dstnya.", sebagai sikap gamang dan terlalu dicari-cari, karena sudah 5 tahun visi dan misi FPI terdaftar di Kemendagri, namun tidak dilakukan pendalaman dan penindakan.
Melihat sepak terjang FPI yang intoleran selama 15 tahun, melakukan tindakan persekusi dan sweeping terhadap kelompok minoritas sebagai tindakan yang menjadi tugas dan kewenangan Penegak Hukum, mestinya sikap Pemerintah tidak hanya sekadar "tidak memperpanjang izin, melainkan langsung bubarkan FPI sesuai dengan tuntutan publik.
Sikap gamang Pemerintah terhadap FPI justru bertolak belakang dengan semangat pembentukan UU No. 16 Tahun 2017 Tentang Ormas yang lahir melalui Perpu Presiden Jokowi No. 2 Tahun 2017, dimana terdapat kebutuhan mendesak untuk menjaga kehormatan dan kedaulatan negara yang ideologinya sedang terancam oleh ideologi Khilafah.
Karpet Merah Produk SBY
Jika kita memperhatikan peristiwa dimana FPI diterima pendaftarannya pada 20 Juni 2014, kemudian Badan Hukum HTI disahkan pada 2 Juli 2014 dan sebelumnya UU No. 8 Tahun 1985 Tentang Ormas dicabut dan dibentuk UU No. 17 Tahun 2013 Tentang Ormas pada 22 Juli 2013, semuanya berlangsung menjelang akhir masa bakti SBY sebagai Presiden pada Oktober 2014.
SBY dianggap telah memberikan "karpet merah" bagi ormas-ormas yang memperjuangkan khilafah sebelum mengakhiri masa jabatannya.
Sejumlah pasal di dalam UU No. 17 Tahun 2013 Tentang Ormas, membuat Negara tidak berdaya ketika hendak menindak ormas Radikal dan Intoleran yang memperjuangkan Khilafah.
Karena itu Presiden Jokowi mengeluarkan Perpu No.2 Tahun 2017 yang mengubah pasal-pasal "nakal" dari UU No. 17 Tahun 2013 tsb.
Baca: Jokowi Tinjau Akses Jalan Patimban Jawa Barat, Targetkan Rampung Juni 2020
Baca: Sebut Jokowi Juga Alumni 212, Fahri Hamzah: Reuni 212 Momentum Paling Manis untuk Rekonsiliasi
Baca: Tinjau Pelabuhan Patimban Subang, Jokowi: Arah ke Depan Jadi Pelabuhan Khusus Mobil
Negara Gamang Menghadapi FPI
Bersamaan dengan itu visi dan misi FPI dengan mudah diterima pendaftarannya oleh Kemendagri era Gamawan Fauzi, pada 20 Juni 2014, padahal visi dan misi FPI jelas bertentangan dengan Pancasila, namun dibiarkan berkembang selama bertahun-tahun dengan aksi-aksi anarkisnya tanpa penindakan.
Sejak 2017 seiring dengan bubarnya HTI, resistensi berbagai pihak menuntut FPI dibubarkan terus menggema.
Realitas ini mestinya menjadi referensi bagi Fachrul Razi untuk tidak merekomendasikan perpanjangan izin bagi FPI.
Fachrul Razi justru tergoda dengan janji FPI mau mengubah visi dan misinya dan akan "setia kepada Pancasila dan NKRI" dengan sebuah "Surat Pernyataan".
Pertanyaannya siapa yang sedang dikadali, FPI-kah, Pemerintah-kah atau publik?
Sebagai Menag mestinya Fachrul Razi tahu bahwa mengubah ideologi sebuah ormas tidaklah mudah dan tidak mungkin hanya dengan Surat Pernyataan di atas materai Rp 6.000, tetapi perlu sosialisasi.
Ideologi FPI tidak serta merta lenyap dalam sekejap dan dalam sekejap pula tumbuh kesetiaan kepada Pancasila, apalagi mengubahnya-pun pasti lewat "Keputusan Forum Tertinggi Pengambilan Keputusan" entah muktamar (bukan Surat Pernyataan), sesuai kaidah di internal FPI.
Karena itu sangat disayangkan sikap Menag Fachrul Razi, hanya dengan Surat Pernyataan di atas materai, izin FPI bisa diperpanjang.
Ini jelas tidak profesional dan tidak serius menyelesaikan ancaman Radikalisme dan Intoleransi di negeri ini.