Dunia Startup, Ladang Kongkalikong Kaum Oligarkis
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
Dunia Startup menjadi isu ekonomi-politik yang menarik sejak debat Capres Jokowi-Prabowo pada Pilpres 2019. Tampak jelas komitmen Jokowi mendukung perusahaan-perusahaan unicorn ciptaan anak bangsa untuk meramaikan dunia startup di masa depan. Tetapi, siapa menyangka sisi gelap komitmen presiden terhadap upaya massifikasi pertumbuhan unicorn di dunia startup ini?!
Kegelisahan itu muncul sejak Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon, menjadi saksi mata atas kritik Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, M.A., (Ketum PBNU). Ternyata, ekonomi bisnis berbasis teknologi digital seperti Bukalapak, Lazada, dan lainnya, menciptakan kapitalis-kapitalis baru. Ironisnya lagi, para pemain ekonomi digital ini adalah kaum oligarki yang jumlahnya hanya segelintir (Tribunnews, 27/12/2019).
Pernyataan Kiai Said ini bukan igauan di siang bolong. Sudah terbukti nyata dengan adanya kerjasama antara Grab Indonesia dan pemerintah. Grab meluncurkan kendaraan online berbasis listrik di Kantor Kemenko Maritim dan Investasi. Bahkan, Luhut Binsar Pandjaitan (Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi) tegas mengatakan, “kami, pemerintah, tentu mendukung, seperti juga Kemenristek dan Kemenhub, melihat peluang bagus ini,”.
Luhut B Pandjaitan memastikan dukungan pemerintah terhadap Grab Indonesia sebagai industri kaum oligarkis ini. “semua harus untung, Indonesia harus untung. Bagusnya, Grab ini tetap on the track, dan pemerintah akan membantu.” Pertanyaannya, siapa yang akan dibantu pemerintah? Awalnya, Grab dituduh sebagai perusahaan asal Malaysia, tetapi lama-kelamaan terbongkar Lippo Group juga menanam modal sejak awal (Kompas, 21/3/2016).
Dukungan politik pemerintah terhadap bisnis kaum oligarki adalah kekalahan telak jamaah Nahdliyyin di dua medan; pertama, medan politik, dan kedua, medan ekonomi. Pada akhirnya, kita tidak heran lagi, mengapa NU tidak dapat jatah di kementerian rezim Jokowi-Amin atau pengingkaran janji Sri Mulyani (Kemenkeu) atas MoU yang dibuatnya bersama PBNU. Sebab, politik pemerintah sudah bersetubuh dengan bisnis kelompok oligarki.
Dengan begitu, kita jadi sadar. Isu politik berupa dukungan pemerintah terhadap pengembangan unicorn-unicorn baru di dunia startup hanya kamuflase belaka. Dunia starup tak lain hanyalah ajang kongkalikong kaum oligarki dan pemerintah. Bukan saja pada kasus Grab Indonesia, tetapi kasus serupa terjadi pada Gojek Indonesia, milik Nadiem Makarim yang sekaligus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu.
Gojek sama dengan Grab, telah menjalin hubungan mesra dengan politik pemerintah. Kasusnya, kerjasama Gojek Indonesia dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Isu yang diwacanakan pemerintah adalah manfaat berupa potensi peningkatan kepatuhan pajak dari mitra Gojek yang berjumlah 100 ribu (Detik, 8/11/ 2017).
Siapa pemilik Gojek Indonesia ini, yang diprakarsai Nadiem Makarim ini? Google Temasek mengatakan Gojek (termasuk Tokopedia, Bukalapak, dan Traveloka) adalah milik Singapura. Ekonom Universitas Indonesia (UI), Fithria Faisal Hastiadi, gerah dan mengatakan bahwa pemerintah belum berhasil menciptakan ekosistem yang baik bagi tumbuh kembang perusahaan unicorn.
Kegerahan Fithria Faisal Hastiadi itu masuk akal. Beberapa perusahaan asing yang memiliki saham besar di Gojek Indonesia, antara lain: Allianz Strategic Investments SARL, Anderson Investment Pte Ltd, Asean China Investment Fund (US) III LP, Gamvest Pte Ltd, Golden Signal Limited, Google Asia Pacific Pte Ltd, KKR Go Investment Pte Ltd, London Residential II SARL, Natural Plus Holdings Limited, OZ GOJ Sculptor Investments SARL dan investor asing lainnya.
Sedangkan investor-investor pribumi, kaum oligarki pribumi, antara lain: PT Astra International Tbk, PT Asuransi Jiwa Sequis Life, PT Chandramahkota Prima, PT Global Digital Niaga, PT Northstar Pacific Investasi, PT Sigmantara Alfindo, PT Union Sampoerna, dan PT Radianx Capital LP (TribunLampung, 2/8/2019).
Gojek pernah membela diri atas desa-desus tersebut. Pihak Gojek mengatakan bahwa mereka merupakan perusahaan rintisan Indonesia, dengan head office di Indonesia, dan 90 persen pegawainya orang Indonesia. Kita tetap akan bertanya: siapa Nadiem Makarim, Pendiri Gojek itu?
Nadiem Makarim adalah putra pasangan Nono Anwar Makarim dan Atika. Nono Anwar Makarim ini adalah pimpinan redaksi harian KAMI tahun 1966-1973; seorang mahasiswa yang ikut terlibat meruntuhkan kekuasaan Presiden Soekarno. Sementara Atika, ibu Nadiem Makarim, adalah putri dari Hamid Algadri, yaitu politisi Partai Sosialis Indonesia.
Kita tidak bisa abai pada fakta sejarah dan keberlangsungan politik kaum konglomerat. Kita disuguhkan suatu pertunjukan kongkalikong ekonomi-politik kaum oligarki. Nadiem Makarim mendapatkan kursi kekuasaan (Mendikbud) dan Gojek Indonesia mendapat layanan kerjasama yang istimewa dari pemerintah. Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengajak Gojek untuk terlibat dalam proyek pelayanan transportasi laut. Alasan pemerintah adalah efisiensi.
Dimana posisi jamaah Nahdliyyin, kaum papa dan lemah itu, yang bahkan elite-elite NU saja sudah dua kali terjatuh dan terpuruk?
Sudah tidak ada pilihan lain. Jamaah Nahdliyyin harus bangkit bersama, bergerak bersama, terlebih karena sudah memasuki sebuah era digital. Ekonomi dan bisnis bergerak dengan basis teknologi digital. Haruskah jamaah Nahdliyyin berharap pada belas kasih pemerintah, sementara sudah dua kali dikhianati, baik dalam hal politik maupun ekonomi? Atau, bangkit bersama-sama melawan dengan cara yang elegan?
Ketika dunia startup sudah menjadi ajang kongkalikong politik penguasa dan bisnis oligarki, penulis rasa pesan Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari pada Muktamar NU XI di Banjarmasin masih relevan. Nasehat tentang persatuan dan kekompakan. “Wahai umat muslim, tidakkah ini saatnya kita sadar dari kemabukan kita, menyadari bahwa kemenangan pihak kita bergantung sejauh mana kita saling tolong-menolong dan bersatu, dengan hati yang murni dan tulus?”.
*Penulis adalah Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.