Oleh Bambang Soesatyo,Ketua MPR RI/
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA- tak beda dengan 2019, perekonomian global tahun 2020 pun masih berselimut ketidakpastian.
Maka, strategi pengelolaan ekonomi yang penuh kehati-hatian (prudent), sebagaimana telah dipraktikan Indonesia sepanjang 2019, patut dipertahankan dan dilanjutkan sepanjang 2020.
Baca: Catatan Akhir Tahun Ketua MPR: Kemenangan yang Mempersatukan
Patutlah untuk disyukuri karena pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2019 masih bisa diupayakan bertahan di kisaran 5 persen.
Gambaran tentang indikator pertumbuhan ekonomi ini seharusnya menjadi faktor pembangkit optimisme masyarakat.
Utamanya karena level pertumbuhan itu bisa dicapai ketika perekonomian global masih dirundung masalah ketidakpastian.
Baca: Omnibus Law dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Prespektif Negara Hukum Indonesia
Terjaganya kinerja perekonomian nasional yang positif itu tentunya berkat pengelolaan yang berlandaskan penuh kehati-hatian.
Dinamika perekonomian global tahun 2020 praktis masih sama dengan 2019. Dari aspek pertumbuhan tetap kurang prospektif.
Faktor penyebab ketidakpastiannya tetap sama, yakni berlanjutnya perang dagang Amerika Serikat (AS) versus Tiongkok, plus faktor rumitnya pemisahan Inggris dari perekonomian atau pasar tunggal UE (Uni Eropa) alias Brexit.
Proses Brexit seperti sedang menghadapi kebuntuan.
Baca: Bamsoet: Sistem Pemilu Sekarang Penting Dipertahankan
Selain itu, bahkan ada potensi terjadinya eskalasi ketidakpastian oleh faktor AS. Pertama, kisruh mengenai keberlanjutan proses pemakzulan Presiden Donald Trump.
Kedua, faktor pemilihan Presiden AS pada November 2020. Dunia pada umumnya, dan sektor bisnis pada khususnya, akan menunggu sosok presiden terpilih dari negeri Paman Sam itu.
Sebab, sosok presiden terpilih akan menentukan arah dan model kebijakan ekonomi AS.
Baca: Ketua MPR Klaim Jokowi Tak Ingin Ubah Ketentuan Masa Jabatan Presiden
Jika Trump terplih lagi, dunia masih harus menghitung lagi dampak perang dagang. Ceritanya tentu menjadi bisa berbeda jika presiden AS terpilih adalah sosok yang baru.
Karena faktor-faktor ketidakpastian global itu, menjadi sangat layak untuk merekomendasikan kepada pemerintah agar tetap bermain aman sepanjang tahun 2020.
Yakni kebijakan pengelolaan perekonomian yang realistis dan penuh kehati-hatian, seperti yang dipraktikan sepanjang 2019.
Bukankah dengan semangat pengelolaan yang berhati-hati sepanjang 2019 Indonesia masih mampu mencatat pertumbuhan ekonomi 5,02 persen.
Baca: Demi Rakyat, Ketua MPR Minta Iuran BPJS Kesehatan Kelas III Tidak Naik
Realistis dalam arti tetap berpijak pada sumber kekuatan atau kontributor utama pertumbuhan.
Sumber kekuatan pertumbuhan ekonomi 2019 adalah konsumsi domestik yang sumbangannya mencapai 56,28 persen, sementara kontribusi investasi bagi pertumbuhan 32,32 persen.
Mengupayakan peningkatan kontribusi investasi baru bagi pertumbuhan ekonomi nasional per 2020 masih sulit karena ketidakpastian global itu. Begitu pula dengan kontribusi dari ekspor.
Baca: Lanjutkan Silaturahmi Kebangsaan, MPR akan Bertemu NasDem Bahas Amandemen Terbatas UUD 45
Maka, motor pertumbuhan yang masih layak diandalkan adalah konsumsi masyarakat dan maksimalisasi pemanfaatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun daerah (APBD).
Untuk memelihara potensi pertumbuhan ekonomi di tahun mendatang, Pemerintah diharapkan fokus pada pengelolaan dua motor pertumbuhan itu.
Untuk menjaga kekuatan konsumsi masyarakat, pemerintah hendaknya menghindari dulu penerapan kebijakan-kebijakan baru yang berpotensi memperlemah daya beli masyarakat.
Rencana kebijakan menaikkan iuran BPJS misalnya, kalau masih bisa ditunda, tak ada salahnya jika diterapkan di kemudian hari.
Kebijakan lain yang berpotensi menaikkan harga barang dan jasa pun hendaknya dipertimbangkan dengan matang dan jangan dipaksakan.
Baca: Menteri LHK Siti Nurbaya Ajak KADIN Buka Lapangan Kerja
Sejumlah laporan menyebutkan bahwa penyerapan anggaran 2019, baik di pusat (APBN) maupun daerah (APBD), belum maksimal hingga di penghujung tahun.
Artinya, peran APBN - APBD sebagai motor pertumbuhan belum diupayakan sepenuhnya.
Baca: Bamsoet Apresiasi Presiden Jokowi Pilih Beberapa Menteri dari Kalangan Muda
Berdasarkan catatan 2019 itu, pemerintah sepanjang 2020 diharapkan lebih pro aktif mendorong semua kementerian dan lembaga (K/L), serta semua pemerintah daerah, untuk meningkatkan profesionalisme dan lebih bersungguh-sungguh dalam memanfaatkan APBN-APBD.
Apalagi, belanja pemerintah dan konsumsi domestik saling mempengaruhi. Lamban atau minimnya belanja pemerintah akan berdampak pada konsumsi dalam negeri.
Tidak kalah pentingnya adalah menjaga atau bahkan meningkatkan produktivitas UMKM di dalam negeri.
Pemerintah disarankan untuk memberi perhatian lebih pada upaya mendorong peningkatan kinerja UMKM.
Baca: Menkumham Yasonna Diminta Jokowi Selesaikan UU Omnibus Law
Tahun- tahun terakhir ini, total pelaku UMKM di Indonesia sudah mendekati 60 juta. Mereka kreatif. Kemampuannya menyerap tenaga kerja pun sudah terbukti.
Beragam kebutuhan masyarakat dan rumah tangga sudah bisa diproduksi oleh UMKM.
Masalahnya kemudian adalah produk UMKM itu harus bersaing dengan sejumlah produk impor yang ditawarkan dengan harga sangat kompetitif di pasar dalam negeri.
UMKM butuh dukungan berupa formula permodalan yang bisa mendorong mereka mewujudkan biaya produksi yang efisien agar juga bisa kompetitif.
Baca: Demi Rakyat, Ketua MPR Minta Iuran BPJS Kesehatan Kelas III Tidak Naik
Pemerintah seharusnya bisa menyediakan pinjaman modal kerja dengan tingkat bunga yang murah untuk UMKM yang produktif, prospektif dan kompetitif.
Wujudkan EODB
Tak hanya pebisnis berskala besar, bahkan UMKM pun masih merasakan sejumlah kesulitan untuk tumbuh dan berkembang, tak hanya dari aspek ketersediaan modal kerja melainkan juga dari sisi perizinan.
Dengan begitu, ketika pemerintah akan all out memperbaiki peringkat kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EODB), aspirasi puluhan juta pelaku UMKM hendaknya juga didengarkan dan direspons oleh pemerintah bersama bank sentral atau Bank Indonesia (BI).
Nilai tambah dari peran UMKM, baik bagi pertumbuhan dan ketahanan ekonomi maupun penyerapan angkatan kerja, tidak selayaknya dianggap remeh.
Sektor bisnis dalam negeri, termasuk UMKM tentu saja, kini boleh berharap banyak dari rencana aksi pemerintah melakukan penyederhanaan perizinan.
Baca: Omnibus Law dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Prespektif Negara Hukum Indonesia
Setelah bertahun-tahun mengupayakan harmonisasi peraturan pusat-daerah tak kunjung membuahkan hasil, presiden Joko Widodo akhirnya menawarkan dan langsung menyiapkan rancangan Omnibus Law.
Ini adalah undang-undang (UU) yang harus dibuat untuk merespons sebuah masalah strategis, dengan konsekuensinya adalah pembatalan atau bahkan pencabutan sejumlah UU maupun peraturan-peraturan lainnya.
Omnibus Law yang sekarang dirancang pemerintah fokus pada eliminasi semua hambatan berusaha dan investasi, utamanya adalah UU perpajakan, penciptaan lapangan kerja dan pemberdayaan UMKM.
Artinya, golnya adalah mewujudkan EODB itu.
Baca: Kadin Harap Pemerintah Siapkan Kebijakan agar Swasta Berinvestasi di Jalan Tol
Apalagi, melengkapi rencana pengajuan proposal Omnibus Law itu, pemerintah juga bertekad mengoptimalkan sistem online single submission (OSS), meningkatkan efektivitas fungsi Satuan Tugas Percepatan Investasi, relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI), dan pengesahan sektor prioritas investasi.
Juga implementasi tax holiday dan super deduction tax (pemotongan/insentif pajak khusus), dan pengembangan Proyek Strategis Nasional (PSN) serta Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) plus Kawasan Industri.
Penyiapan proposal Omnibus Law oleh pemerintah secara tidak langsung memberi gambaran kepada masyarakat betapa sulitnya mengajak pemerintah daerah untuk melakukan harmonisasi peraturan pusat dengan daerah.
Juga memberi penjelasan betapa tidak mudahnya mereformasi birokrasi pusat maupun daerah.
Sebelum sampai pada gagasan Omnibus Law itu, Pemerintah cq Kementerian Dalam Negeri pernah membatalkan tak kurang dari 3.143 peraturan daerah (Perda) karena menghambat peningkatan investasi dan pertumbuhan ekonomi daerah.
Ribuan Perda itu hanya memperpanjang jalur birokrasi, menghambat perizinan, menyulitkan masyarakat berbisnis
Bahkan ada yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Omnibus Law dan sejumlah pendekatan yang akan ditempuh pemerintah adalah upaya menemukan solusi. Dan, hasilnya belum akan terlihat atau dirasakan segera.
Tetapi, setidaknya, sepanjangan periode ketidakpastian global seperti sekarang ini, Indonesia memang selayaknya memanfaatkan periode itu untuk melakukan pembenahan guna mewujudkan kemudahan berbisnis atau EODB itu.
Kelak ketika semua inisiatif pembenahan itu rampung dan siap diterapkan, pelaku UMKM akan bergerak lebih leluasa, sementara investor lokal maupun asing tidak lagi dibuat ragu atau takut oleh oknum birokrat berperilaku korup.