News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Laut Natuna Diklaim China

Tak Boleh ada Negosiasi Cina Terkait Natuna

Editor: Rachmat Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Fadli Zon.

Oleh Fadli Zon, Anggota DPR RI, alumnus UI dan London School of Economics (LSE) Inggris

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Protes Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri atas masuknya kapal Cina ke wilayah perairan Natuna, sudah tepat. Mengacu pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Cina memang tak memiliki hak dan kedaulatan apapun di perairan tersebut.

Argumen bahwa perairan tersebut merupakan wilayah tradisional penangkapan ikan nelayan Cina (traditional fishing right), sama sekali tak punya dasar hukum dan tak diakui.

Baca: Mahfud MD Tegaskan Indonesia Tidak Akan Perang dengan China

Dalam UNCLOS, konsep yang dikenal adalah Traditional Fishing Rights, bukan Traditional Fishing Grounds. Hal itu diatur dalam Pasal 51 UNCLOS. Itu sebabnya masyarakat internasional tidak mengakui keabsahan 9 garis putus yang diklaim oleh Cina, termasuk klaim Traditional Fishing Rights mereka.

Kita punya dasar hukum internasional yang kuat untuk menolak klaim Cina tersebut. Apalagi, Putusan Permanent Court of Arbitration pada tahun 2016, dalam sengketa antara Filipina melawan Cina, juga telah menegaskan kembali UNCLOS 1982.

Baca: Jawab Isu Soal 1.000 Kapal di Perairan Natuna, Menteri Edhy: Jangan Terprovokasi

Artinya, Cina tak punya dasar hukum mengklaim perairan Natuna Utara dan sembilan garis putus yang selalu mereka sampaikan. Padahal, Cina sendiri adalah anggota UNCLOS.

Memang, dalam kasus Coast Guard Cina kemarin tidak ada sengketa kedaulatan (sovereignty) antara Indonesia dengan Cina. Mereka tak memasuki laut teritorial Indonesia. Dalam hukum laut internasional, dibedakan antara sovereignty dengan sovereign rights.

Baca: Pakar Hukum Internasional Sebut Klaim China atas Natuna untuk Mengetes Menteri Baru Jokowi

Sovereignty merujuk pada konsep kedaulatan yang di laut disebut Laut Teritorial (Territorial Sea). Sementara sovereign rights bukanlah kedaulatan. Mereka hanya memasuki ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) Indonesia, di mana kita punya sovereign rights atasnya.

Sovereign rights memberi negara pantai seperti Indonesia hak untuk mengeksploitasi dan mengelola sumber daya alam di wilayah laut lepas tertentu (ZEE) atau yang berada di bawah dasar laut (landas kontinen). Jadi, ZEE memang tidak berada di laut teritorial, tetapi di laut lepas (high seas).

Baca: Soal Natuna, Menteri Edhy Prabowo: Jangan Terprovokasi, Kita Harus Cool Sikapi

Di laut lepas memang tak dikenal konsep kedaulatan, sehingga tak dikenal juga tindakan penegakan kedaulatan. Namun, kita punya hak penegakan hukum di wilayah tersebut. Sebab, dalam undang-undang kita, misalnya UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, ZEE termasuk ke dalam laut yurisdiksi nasional.

Sesuai Pasal 9 ayat (2), TNI kita diberi tugas untuk menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional.

Baca: Adakah Kemungkinan Perang Melawan China di Perairan Natuna? TNI : Terlalu Dibesar-besarkan!

Dalam konteks konflik di Laut Cina Selatan hari ini, sebagai negara non-claimant state, Indonesia sebenarnya sejak lama telah mengambil sikap tegas untuk melindungi kedaulatan perairan Natuna.

Sejak dulu kita tidak pernah mengakui klaim sepihak Cina. Pada 2010, misalnya, kita bahkan pernah menulis catatan kepada Sekjen PBB bahwa klaim Cina mengenai sembilan garis putus-putus itu tidak memiliki basis hukum internasional.

Baca: Unjuk Kekuatan Militer di Natuna Sinyal RI Siap Perangi China? Ini Kata Mahfud MD

Pada 2017, kita juga telah mengambil inisiatif penting dengan mengubah nama perairan Natuna menjadi perairan Natuna Utara. Setidaknya ada dua alasan, menurut saya, kenapa perubahan nama itu perlu dilakukan.

Pertama, untuk mencegah kebingungan di antara pihak-pihak yang ingin mengeksploitasi landasan kontinen tersebut, mengingat di wilayah itu kita memiliki hak berdaulat. Dan kedua, untuk memberikan petunjuk yang jelas kepada Tim Penegakkan Hukum di Angkatan Laut (AL) Indonesia.

Sehingga, saya sepakat dengan pandangan bahwa persoalan perairan Natuna Utara ini memang tak boleh dan tak perlu dibawa ke meja perundingan.

Cina tidak mengakui ZEE Indonesia di Natuna Utara, demikian pula Indonesia juga tidak mengakui wilayah tradisional penagkapan ikan nelayan Cina. Jadi, tak ada yang perlu dirundingkan. Itu mencederai konsistensi kita dalam menjaga kedaualatan Natuna sejauh ini.

Baca: Adakah Kemungkinan Perang Melawan China di Perairan Natuna? TNI : Terlalu Dibesar-besarkan!

Hak kita atas perairan Natuna Utara sudah dilindungi oleh hukum laut internasional. Cina sendiri mengakui UNCLOS. Jadi, dasar kita sangat kuat. Itu sebabnya jangan sampai dibuka ruang negosiasi sekecil apapun dengan Cina terkait wilayah perairan tersebut. Kita tak boleh didikte oleh Cina atau berada di bawah tekanan Cina.

Kita hanya perlu meningkatkan patroli dan memperkuat penjagaan keamanan di perairan Natuna Utara. Harus diakui itu adalah kelemahan kita selama ini.

Baca: TNI Tegaskan Tidak Akan Perang dengan China soal Natuna

Sebab, saya melihat perairan Natuna Utara sepertinya akan selalu diwarnai insiden serupa. Jangan lupa, insiden seperti kemarin sudah terjadi berkali-kali, seperti tahun 2016, 2015, 2013, bahkan sejak tahun 2010 dulu. Kita perlu mencurigai ada upaya sistematis untuk membawa persoalan ini ke meja perundingan bilateral.

Sebagai negara berdaulat, kita sebaiknya tidak terjebak pada skenario tersebut. Di meja perundingan bilateral, bagaimanapun posisi Indonesia akan mudah sekali ditekan Cina. Kita tak menginginkan itu terjadi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini