Memang benar pencuri ikan harus dibedakan dari urusan investasi dan kepentingan investor. Tetapi, bagaimana jika tujuan Cina bukan terkait investasi dan pencurian ikan melainkan soal ajakan perang militer? Tentu dalam konteks balas dendam atas keterlibatan terlalu jauh muslim Indonesia atas urusan Uyghur.
Penulis rasa, pemerintah Cina tidak bodoh-bodoh amat. Sejak awal sudah bisa ditebak klaim Cina atas Natuna pasti kalah di pengadilan Internasional.
Sejak Menter Luar Negeri yakin penuh bahwa klaim Cina tidak akan pernah diakui oleh siapapun, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ikut angkat suara dan berada di pihak kepentingan Indonesia.
Prinsip Xi Jinping tidak mau memulai masalah, tapi tidak takut terlibat masalah. Di sini, provokasi di Natuna harus dipahami lebih luas, yakni soal “gengsi”. Gengsi terkait identitasnya sebagai negara super power yang direcoki oleh segelintir orang dari negara berkembang.
Artinya, sekali pun secara militer dan politik internasional, Indonesia memihak Amerika, lalu kantor-kantor kedutaan Cina digeruduk tanpa argumentasi kuat, RRT tidak akan pernah mundur. Ini adalah pelajaran penting, terutama bagi kelompok radikalis-fundamentalis yang bersumbu pendek, agar memperluas cakrawala pengetahuan mereka.
Tanggal 6 Januari 2020, PBNU mengeluarkan pernyataan sikap tentang Natuna. Isinya terkait desakan agar RRT menghentikan provokasi atas kedaulatan Republik Indonesia (RI). Selain provokasi itu tidak penting, isu Uyghur sudah reda, Republik Indonesia secara politik mengusung ideologi non-blok sejak era Presiden Soekarno.
Dengan kata lain, Indonesia tidak akan berpihak pada Amerika, dan tidak akan membiarkan dana Amerika mengalir kepada kelompok radikal-fundamental di Indonesia.
Prinsip Non-blok ini harus selalu jadi pegangan bagi Amerika maupun Tiongkok, juga bagi rakyat Indonesia sendiri. Tuduhan Wall Street Journal dengan otomatis tidak masuk akal.
Provokasi Cina di Natuna pun otomatis sia-sia. Termasuk isu Indonesia berkiblat pada komunis China sejatinya tidak kuat. Har ini, realitas politik Indonesia sedang menghadapi kejahatan kaum oligarki, yang merajalela di birokrasi pemerintah.
Kaum oligarki ini tidak pernah peduli pada ideologi. Selagi arah mata angin politik dan ekonomi menguntungkan mereka, pasti akan disikat. Tidak peduli itu datang dari komunis atau kapitalis, selama mendatangkan keuntungan pasti akan digarong. Bahkan, mereka tega hati melihat bangsa sendiri hidup sengsara dan menderita. Karenanya, PBNU menabuh genderang perang melawan mereka.[]
*Penulis adalah Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.