Oleh: M. Nigara
BELUM satu jam, Menpora Zainudin Amali, saya, dan sahabat-sahabat: Eddy Lahengko, Arsyad Ahmadin, Sadik Algadri, serta Imam Wibowo berbincang saat makan malam setelah menengok Tim nasional latihan pertama di bawah asuhan pelatih asal Korea Selatan, Shin Tae Yong di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang, kabar duka datang.
Seorang legenda sepakbola kita 1960-70an, Sarman Mamak Panggabean berpulang.
"Hanya tiga hari setelah saya dilantik, gelombang mantan pemain nasional datang memberi informasi tentang seluk-beluk sepakbola kita," begitu tukas Menpora awal perbincangan sambil menyantap masakan sunda.
Obrolan sampai pada Anjas Asmara dan Sarman.
"Mereka itu selalu berpasangan saat ingin mendorong Jendral TNI, Geoge Toisuta untuk menjadi Ketum PSSI," sambung saya.
Banyak hal lucu, khususnya terkait Mamak. Kami tertawa dengan masing-masing memiliki kenangan indah pada sosok yang pernah menjadi punggawa PSMS Medan, Pardedetex, dan tim nasional.
PIALA DUNIA 1990
Bagi saya dan Eddy, Mamak memang sangat istimewa. Kami lebih dari 40 hari berkutat bersama di Piala Dunia 1990, Italia. Kisah 30 tahun silam itu tiba-tiba menyeruak begitu saja. Ya, sepertinya baru saja kemarin terjadi.
Waktu itu, 1 Juni 1990, saya berangkat ke Roma sendirian. Meski ini bukan kali pertama saya ke Eropa, tapi ini adalah perjalanan saya yang pertama sendiri saja.
Harusnya saya berangkat lima hari sebelum itu, tapi karena putri kedua saya lahir, maka perjalanan terpaksa diundur. Jujur, ada rasa khawatir yang bergolak di dada saya.
Terbayang betapa nikmatnya delapan sahabat saya, wartawan sepakbola Indonesia, bertolak bersama, lima hari sebelumnya.
Tapi, Allah kasihan pada saya. Begitu pesawat transit di Singapura, Rahmat, wartawan Analisa Medan melintas. Belum sempat saya sapa, bahu saya ditepuk orang sambil berkata: "Mamak mau kemana?".
Saya menoleh. Wajah dan senyumnya, sangat akrab. Ya, dialah senior yang selalu mampu membuat orang tertawa karena celotehnya.
Ya, dialah Sarman Mamak Panggabean.
Tidak hanya itu, Mamak yang baru dikontak tiga minggu sebelum hari keberangkatan, mengaku pasrah saja soal id card. Ya, sangat mustahil dia bisa memperolehnya. Kami para wartawan saja sudah lebih dari delapan bulan mendaftar.
"Bah, awak tak peduli la id card tu!" ujarnya.
"Kapan lagi awak ke Italia," katanya lagi sambil terkekeh setelah diberi tahu bahwa pendaftaran untuk liputan itu harus jauh hari sebelumnya.
Namanya Mamak, hari pertama di Roma, dia ikut ke pres center di bagian luar stadion Olimpico, markas AS Roma dan Lazio.
Ditolak, sudah pasti. Mamak sendiri sudah tahu kemungkinan itu. Tapi, bukan Mamak kalau tak mencoba. Hasilnya, tentu nihil.
Beberapa hari kemudian, Mama menjadi 1 dari sekitar 30 wartawan dan analis dari Indonesia yang paling beruntung. Ya, meski ada dua mantan bintang tim nas lain, Ronny Patinasari dan Rusdi Bahalwan, hanya Mamak yang mengambil momentum itu. Ronny dan Rusdi sudah didaftar oleh Kompas dan Surya Surabaya sebagai peliput.
"Maaf ya, awak mau menikmati dunia," katanya kepada kami, wartawan sepakbola dari Indonesia.
Mamak terkekeh karena sambil ekor matanya menatap kami agak mengejek. Seorang berperawakan tinggi, lengkap dengan jas dan dasi, menjemputnya untuk menuju ke kursi VVip.
Lho, kok bisa? Adalah Erwian Toro, wartawan Suara Merdeka Semarang, sekarang dikenal sebagai Cocomeo, menemukan tiket emas untuk Mamak.
Toro langsung mencetak apa yang ia temukan di situs Piala Dunia Italia. Isinya, seluruh mantan pemain nasional, adalah tamu kehormatan Luca Monte Zemolo, ketua penyelenggara.
Zemolo menjamin seluruh fasilitas mulai dari tiket pertandingan, catatan para mantan pemain nasional di setiap negara, dibebaskan memilih dan dijamin ada tiketnya, seorang pengawal selama di sekitar stadion, makan dan minum.
Dari Indonesia? Ternyata nama Sarman Panggabean ada di sana.
"Thats my name," kata Mamak menceritakan prosesnya.
Maka jadilah Mamak sebagai tamu terhormat, dan dialah yang paling menikmati Piala Dunia.
Hampir tiap hari, kebetulan saya, sahabat Yesayas, mas Rusdi, dan Rahmat tinggal di satu hotel, Alberico Kapoor di via Kapoor, sekitar Termini, stasiun KA pusat di Roma, Mamak selalu membawa banyak roti dan beberapa botol coca cola.
"Sayang kalau dibiarkan di atas meja, " ujarnya selalu sambil terkekeh.
Rasanya, kisah 30 tahun lalu itu, baru saja terjadi. Saya dan pasti banyak sahabat saya yang masih menyisakan kenangan indah tentang senior asal Medan itu.
Saat ini, Mamak alias Sarman Panggabean telah terbaring tanpa lagi ada kekehnya. Mamak telah berpulang untuk selamanya. Semoga Tuhan perluas jalan untuk senior kami ini. Selamat jalan Mamak...
*M. Nigara, Wartawan Sepakbola Senior, kini menjabat sebagai Staf Khusus Menpora