OLEH: Steven Setiabudi Musa
BANJIR! Banjir lagi! Anies Baswedan dihujat lagi. Gubernur DKI Jakarta ini menjadi tumpuan caci maki para netizen. Jagat dunia maya kembali disesaki aroma kebencian, terlebih karena banjir besar yang melanda ibu kota untuk kedua kalinya di awal 2020 ini.
Sebagian besar netizen bahkan kembali membanding-bandingkan banjir ini dengan rencana gelaran Formula Electrik pertengahan tahun ini.
Dengan kondisi banjir di Jakarta saat ini, aneh sekali rencana menggelar balap mobil Formula E belum juga dibatalkan atau dipindahkan lokasinya dari Monas.
Padahal, sesuai UU dan pergub, Monas dilindungi sebagai cagar budaya yang tidak boleh diganggu keindahannya.
Yang mengherankan lagi, biaya penyelenggaraan sebesar Rp 1,6 Triliun diambil dari APBD, sementara pemasukan diperkirakan sebesar Rp 500 Miliar.
Itu pun sumber pemasukannya belum jelas. Dalam pembicaraan orang bisnis, ini namanya bunuh diri.
Sejauh ini, di internal DPRD DKI Jakarta sendiri, masih ada dua partai yang mendukung "proyek mercusuar" Anies ini. Mereka juga tetap ngotot Formula E harus digelar Juni 2020 nanti.
Lebih mengherankan lagi, ada partai yang dulu begitu peduli dengan bantuan kemanusiaan, kali ini mendukung acara balap mobil yang tidak ada manfaatnya bagi para korban banjir.
Apalagi, harga tiket ratusan ribu rupiah yang tentu tidak akan terjangkau oleh masyarakat luas.
Coba kita hitung berapa keluarga miskin yantg terkena banjir dan bisa terbantu dengan Rp 1,6 T?
Sebagian besar warga Jakarta, dalam hemat saya, kemungkinan besar tidak mengerti apa yang dikejar oleh Pak Gubernur dengan mobil balapnya.
Yang pasti, Anies selalu mengumandangkan dua aspek ini jika berbicara soal Formula E. Yakni, menjadi tuan rumah balap mobil internasional.
Dan, ikut serta dalam kampanye ramah lingkungan level dunia. Itu yang menjadi dua agenda besar yang dibungkus dalam keikutsertaan Jakarta menjadi tuan rumah Formula E tersebut.
Jakarta menjadi satu-satunya kota di Asia Tenggara yang menjadi tuan rumah Formula E musim 2019/2020 ini. Anies selalu mengatakan menggelar ajang adu cepat mobil formula dengan tenaga listrik itu setidaknya memiliki dua keuntungan.
Selain membesarkan nama Jakarta, Formula E dianggap Anies cocok untuk kampanye penggunaan kendaraan ramah lingkungan.
"Bagi Jakarta ini adalah langkah untuk berada di orbit global, tapi juga mendorong Jakarta melakukan transformasi karena masalah lingkungan hidup," demikian pernah disampaikan Anies.
"Kampanye untuk kendaraan yang lebih ramah lingkungan menjadi penting. Salah satu yang lebih ramah lingkungan adalah elektrik, bukan satu-satunya, tapi salah satu yang lebih ramah lingkungan. Kami berharap ini momentum di dalam Jakarta untuk kita lebih ramah lingkungan," terang Anies.
Selain faktor membawa Jakarta ke pentas dunia dan ikut serta dalam memperbaiki kualitas lingkungan, Anies juga memaparkan asumsi keuntungan ekonomis dalam penyelenggaraan balap mobil Formula E.
Tak tanggung-tanggung, asumsi pergerakan perekonomian selama balapan disebut tim Formula E mencapai 78 juta euro atau senilai Rp1,2 triliun.
Rencananya dalam balapan yang bakal berlangsung dalam lima musim atau lima tahun tersebut bakal ada konser dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Mirip dengan penyelenggaraan F1 Singapura yang memadukan acara olahraga dan hiburan, dengan menampilkan acara musik dengan bintang tamu ternama atau musisi papan atas sebagai rangkaian balap.
Sedikit mengintip biaya Singapura menjadi tuan rumah F1, Negeri Singa mengaku membutuhkan 135 juta dolar Singapura atau sekitar Rp1,3 triliun setiap tahun ketika memperpanjang kontrak kerja sama dengan F1 pada 2017 hingga 2021.
Di Singapura biaya selangit tersebut bisa dikatakan menguntungkan sehingga mereka melanjutkan kerja sama dengan F1 sampai dua tahun ke depan.
Formula penyatuan balapan dan hiburan selama empat hari terbukti ampuh dalam mendatangkan wisatawan dalam jumlah ratusan ribu orang.
Untuk menggelar Formula E, setidaknya Jakarta harus mengeluarkan 20 juta poundsterling atau sekitar Rp 350 Miliar untuk menggelar satu kali balapan.
Ini adalah commitment fee yang wajib dibayar kepada organisasi penyelenggara balapan Formula E Operations (FEO).
Angka commitment fee ini bakal mengalami kenaikan dua persen dari biaya awal setiap tahunnya. Selain itu ada pula pembayaran asuransi yang juga ditujukan kepada FEO senilai 35 juta euro atau setara Rp 545 Miliar.
Pembangunan sarana dan prasarana seperti perbaikan jalan raya, pembangunan pembatas dinding dan pagar, pembuatan trek dan jalur balap, pendirian pit dan lainnya juga bakal menelan biaya yang diprediksi mencapai lebih dari Rp300 miliar.
Ditambah pengeluaran lain seperti promosi, biaya penyelenggaraan Formula E diperkirakan meroket hingga melebihi Rp1 Triliun.
Dengan mengeluarkan dana yang tidak main-main, menjadi tuan rumah Formula E harus benar-benar diperhitungkan secara matang.
Malaysia yang sudah lebih berpengalaman menyelenggarakan balapan mobil Formula 1 sejak 1999 harus menutup buku pada 2017.
Seri Grand Prix Malaysia resmi tidak ada lagi dalam kalender balapan Formula 1 sejak dua tahun silam lantaran biaya penyelenggaraan yang tinggi dan penjualan tiket yang rendah.
Selain itu kendati menggiurkan dan dipercaya bisa mendatangkan keuntungan bagi pelaku ekonomi, ada fakta bahwa Formula E tidak mendapat sambutan positif seperti yang terjadi di Monaco. Alih-alih menggenjot sektor bisnis, balapan mobil tanpa suara dan tanpa polusi itu justru membuat 70 persen pengusaha mengalami kerugian.
Dalam survei yang dilakukan oleh Formule Citoyenne disebut ada 49 dari 70 pengusaha justru mendapat efek negatif dan 28,6 persen mengatakan tidak mendapat keuntungan, serta hanya 1,4 persen yang mengaku meraih laba.
Belajar dari Singapura, Malaysia dan Monaco, Jakarta dihadapkan pada pekerjaan rumah yang cukup besar jika ingin meraup untung dari balap Formula E. Memastikan estimasi 35 ribu tiket laku terjual dan seluruh kegiatan perekonomian berjalan lancar adalah tantangan nyata bagi tuan rumahFormula E.
Sejak Formula E berlangsung pada 2014, belum ada kota atau negara yang benar-benar secara beruntun menjadi tuan rumah Formula E selama lima tahun secara beruntun selain Meksiko yakni sejak musim 2015/2016 hingga 2019/2020. Sedangkan Amerika Serikat yang sudah turut menjadi tuan rumah Formula E sejak 2014, tercatat memiliki tiga kota penyelenggara.
Kini Pemprov DKI Jakarta dihadapkan pada situasi yang cukup sulit. Pasalnya dengan komitmen lima tahun menggelar Formula E, sulit bagi Pemprov DKI Jakarta untuk mendapatkan keuntungan finansial dalam masa waktu setengah dekade.
Dari sisi itu maka yang prioritas adalah program pengendalian banjir....*
*Steven Setiabudi Musa, Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta