News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

In memoriam Bob Hasan: Sakit Jika Tak Memberi

Editor: Toni Bramantoro
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bob Hasan

OLEH: M. Nigara

BUKAN rahasia umum lagi, khususnya bagi wartawan olahraga Indonesia, Bob Hasan adalah 'dewa' penolong. Di mana pun, Pak BH, begitu kami biasa menyebutnya, selalu ringan tangan.

"Berapa orang?," begitu sapanya ketika melihat kami para kuli tinta. Tak lama, tangan kanannya masuk ke saku celana, dan dalam hitungan detik, BH langsung mengulurkan tangannya. "Nih," ujarnya sambil tersenyum.

Jika di dalam negeri, pasti ratusan ribu, dan jika di luar negeri, pasti dolar Amerika nominal 100 dolaran. Tak perlu diminta, BH selalu begitu.

Sepertinya BH punya kebiasaan memberi. Kata para senior saya: "Pak Bob bisa sakit kalau tidak memberi," kata para senior.

EMPAT KALI

Saya sendiri tidak terlalu dekat dengan beliau. Sejak menjadi wartawan di majalah Olympic, Harian Kompas, BOLA dan Media Go, liputan saya tidak di cabor-cabor yang dipimpin Pak Bob.

Ya, Bob Hasan selain menjadi Ketua Umum atletik (PASI), juga memimpin Persani (Senam), Pabbsi (Angkat besi), dan membina Persani (Panahan). Meski demikian, saya sempat empat kali bertemu dengannya.

Pertama di Kuala Lumpur, saat SEA Games 1989. Waktu itu BH sedang mengunjungi hotel Merlin yang dijadikan head quarter kontingen Indonesia. Saya datang terlambat karena baru saja menemani Mas Sigit Harjojudanto (Ketua PSSI) serta Mas Harry Sapto (Ketum PB ISSI).

"Kurang satu Pa Bob," begitu sambut seorang senior, wartawan radio nasional.

Pak BH yang selama ini sangat kondang dan selalu saya dengar dipuji-puji itu, memasukan tangan kanannya, lalu menjulurkannya ke saya.

Bukan tak sopan, antara terkejut dan mengingat pesan dari kantor saya (BOLA) dilarang menerima sesuatu dari nara sumber, reflek saya tolak.

"Terima kasih pak," kata saya sambil terus berlalu.

Tahun 1993, menjelang Borobudur 10 K, saya bersama sahabat saya Eddy Lahengko (Suara Pembaruan), kembali terlambat datang ke acara jumpa pers di Wisma Tugu, Kuningan Jakarta. Hal sama berulang, saya pun menolak pemberian Pak Bob.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini