News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Ketika Alam Bernyanyi

Editor: Toni Bramantoro
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden Amerika Serikat Donald Trump

OLEH: Romanus Muda Kota S.FIL., SH., MH.

Adagium ‘taklukan bumi’ seolah membenarkan kekuasaan manusia atas semesta. Semesta menjadi subordinasi dari manusia karena klaim manusia sebagai puncak atau mahkota dari seluruh ciptaan Allah. Semesta tidak memiliki kekuasaan yang lebih hebat dari manusia.

Rene Decartes (1596 – 1650) membenarkan berbagai pergumulan antara manusia dan alam melalui pemikiran yang menempatkan rasionalitas sebagai puncak dari cara keberadaan manusia di tengah semesta.

Cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada) membuat rasionalitas berkembang liar dan mulailah penaklukan manusia atas alam dengan cara irasional karena kerakusan dan hedonism yang tak terbatas. Semakin seseorang menjadi kaya maka semakin merasa dirinya hebat atas sesama dan semesta.

Karena itu berkembanglah berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai jawaban atas keunggulan rasisonalitas manusia atas segala yang tercipta. Manusia berlomba menciptakan teknologi untuk menguasai kekayaan semesta dan mengeksploitasi semesta seolah semesta bereksistensi tak terbatas.

Di sini ada kebanggaan manusia sebagai pihak yang mampu menaklukan alam meski proses berpikir ini kemudian mulai bergeser karena ketakutan manusia akan efek negatif dari sifat rakus dan salah kaprahnya di masa lalu.

Bahkan dengan rasionalitas itu manusia melupakan kewenangan mutlak atas semesta ada di tangan sang pencipta semesta itu sendiri. Allah yang membumi. Keangkuhan manusia akan menjadi tantangan terbesar manusia itu sendiri.

Homo hominis lupus akan terjadi bukan pertama karena adanya angkara murka semesta terhadap manusia, tetapi karena keserakahan manusia dan keangkuhan manusia untuk menjadi yang pertama dan yang teratas terhadap manusia yang lain.

Perlombaan pada jejak awal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah penaklukan semesta, namun kini tampaknya berubah arah menjadi upaya penaklukan pada sesama yang lain melalui perlombaan kekuasaan atas teknologi dan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menguasai dan menaklukan sesama.

Paradigma berpikir negara-negara besar dan kuat seperti Amerika Serikat dan China bergeser dari penguasaan alam kepada penguasaan sesama manusia.

Superioritas manusia atas alam bukan lagi sebuah tantangan karena alam sejengkal lagi ludes dalam genggaman manusia yang maruk dan angkuh.

Yang dicari sekarang adalah menaklukan sesama yang lain supaya superioritas itu tetap terjaga atau adanya upaya maksimal untuk merebut superioritas itu dari tangan yang lain.

Ambisi-ambisi kekuasaan yang kebablasan terhadap semesta dan manusia menyebabkan manusia kehilangan daya untuk mengontrol emosi kekuasaan dalam batas-batas yang bisa diterima oleh alam dan akal sehat sesama yang lain.

Semesta dalam konteks perebutan superioritas ini hanya menjadi media untuk mewujudkan ambisi terselubung

"Saya harus menjadi nomor satu” di antara bangsa-bangsa. Alam dan kesemestaannya hanya dipergunakan sebagai lumbung uang untuk menaklukan sesama yang lain. Dengan demikian superioritas saya yang saat ini saya genggam atau sedang memperjuangkan superioritas itu  tidak boleh gagal. Dan untuk mewujudkan superioritas itu segala upaya harus dilakukan." 

Selincah-lincah tupai melompat akan jatuh juga. Ketika ambisi tak terbendung dan keangkuhan manusia seolah tak terbatas maka alam akan menunjukkan hal yang berbeda.

Alam memiliki mekanisme tersendiri untuk mempertahankan diri sebagaimana manusia dalam eksistensinya akan terus berusaha beradaptasi untuk tetap survival.

Upaya semesta mempertahankan diri tidak terjangkau oleh kecerdasan manusia modern. Ilmu pengetahun dan teknologi seolah lumpuh tak berdaya. Semua mati suri dihadapan semesta.

Cogito ergo sum seolah lumpuh dihadapan sebuah virus kecil, yang sama sekali tak dipandang oleh manusia sebelumnya. Bahkan ketika banyak nyawa meregang, manusia diberbagai belahan dunia lain masih pongah dan angkuh terhadap alam.

Virus corona hanya sebuah penyakit flu biasa yang dengan mudah ditaklukan oleh imunitas tubuh. Manusia yang pongah dan angkuh sering menjadi kelewatan dalam percaya diri. Mungkinkah di sini terjadi metanoia manusia terhadap alam dan terhadap sesama yang lain?

Manusia perlu belajar untuk rendah hati dihadapan semesta dan pencipta semesta. Ketika ribuan nyawa meregang sia-sia dan jutaan lainnya terkurung dalam ketakutan yang absud, maka di sini manusia harus mempertanyakan eksistensi dirinya dalam hubungan dengan semesta.

Pandemi global ini meluncurkan sebuah realitas tentang hubungan terkritis yang mempertanyakan eksistensi masing-masing dan bagaimana membangun hubungan kausalitas yang sehat antara alam dan manusia.

Eksistensi virus corona yang penuh dengan kemisteriusannya dan belum memberikan sebuah titik terang tentang bagamana dia ada, kemana dia pergi dan bagaimana akhir penyelesaiannya juga menjadi critical point bagi para ilmuwan dan kaum teknokrat.

Semua harus mempertanyakan esensi dan hakekat dari ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri bagi kemaslahatan semesta.

Alam bernyanyi saat ini. Langit membiru, es membeku, paru-paru anak jalanan kembali sehat, hutan sunyi dari eksploitasi. Bernyanyi bukan untuk mengolok manusia karena harus terkurung di rumah-rumah. Manusia terpenjara oleh sesuatu yang tidak kasat mata.

Didera oleh ketakutan akan wabah dan ketakutan ini gagal dimenangkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketakutan ini menyiksa miliaran manusia di seantero jagad.

Dan pemerintah negara-negara harus berjibaku untuk menghentikan wabah sembari berjuang menenangkan rakyatnya dengan membangkitkan kekuatan moral dan mental agar tetap sehat dan tetap percaya pada pemerintah.

Refleksi soal ketakutan akan wabah ini dilukiskan dengan tepat oleh filsuf Paul Michel Foucault (1926-1984). Ia menulis, “Sebuah ketakutan dirumuskan dalam term-term medis namun digerakkan secara mendasar oleh mitos moral. Masyarakat hidup dalam ketakutan akan sebuah penyakit misterius yang menyebar dari rumah-rumah pengurungan yang segera akan mengancam kota-kota.” 

Refleksi Foucault untuk peristiwa black death di Eropa ini kembali menjadi nyata dalam kondisi global saat ini. Semua mengurung diri dalam rumah-rumah namun tetap tidak yakin bisa bebas dari wabah misterius ini.

Akibatnya manusia tidak lagi pergi ke pabrik dan menghidupkan mesin-mesin yang membubungkan asap tebal penghancur lapisan ozon. Jutaan mobil dan motor membungkam di halaman dan garasi-garasi rumah.

Alam bukan mau mengejek manusia-manusia sombong di kota-kota dengan deru mobil mewahnya atau jet-jet pribadi yang hanya ditatap nanar para pemiliknya.

Nyanyian alam yang ceria itu bukan untuk dirinya sendiri, in se. Nyanyian alam itu akan kembali dinikmati oleh manusia. Manusia yang selama ini merasa sebagai tuhan atas mereka (alam) ternyata gagal menunjukkan jati dirinya secara baik dan benar.

Manusia kehilangan nurani atas alam dan karena itu alam memberikan sebuah peringatan kecil. Manusia harus ‘break’ sejenak dari semesta dan kembali ke dalam dirinya guna bertanya, apakah manusia bersikap adil dengan semesta? Alam perlu relaksasi dirinya.

Alam perlu restrukturisasi kondisinya agar kembali sehat. Dan kesehatan alam itu adalah milik manusia juga. Alam yang sehat akan membuat manusia jadi sehat.

Alam mengajarkan hal mendasarkan kepada manusia. Back to nature. Manusia harus kembali kepada jati dirinya. Belajar dari alam.

Menggunakan alam hanya untuk hidup bukan untuk hedonism. Menggunakan alam untuk kebaikan dan cinta dan bukan untuk menguasai dan menaklukan.

• Romanus Muda Kota S.FIL., SH.,MH, Konsultan Hukum/Pengacara,  Alumni Magister Ilmu Hukum pada Universitas Bung Karno, Jakarta dan Alumni STFK Ledalero/Ritapiret, Flores.

Romanus Muda Kota
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini