Oleh: Khoirul Anam Gumilar Winata S.IP., M.IP *)
TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah sebagai leading sector jalannya pemerintahan disuatu negara, bertanggung jawab dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat sebagai warga negara.
Maka dari itu pemerintah diberi kewenangan secara konstitusional untuk mengeluarkan kebijakan dengan tujuan mengatur jalannya pemerintahan dengan mengacu kepada konstitusi dan mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat, serta pertimbangan lainnya untuk kemaslahatan negara dan hajat hidup orang banyak.
Begitupun dalam penanganan pandemi Covid-19, dari mulai membuat kebijakan, sampai dengan implementasi kebijakan, pemerintah bertanggung jawab penuh dalam penanganan pandemi ini.
Di awal pandemi masuk ke Indonesia kita melihat ketidak sigapan pemerintah mencegah dan menangani pandemi ini, berbeda pendapat antara pemerintah pusat dan daerah, berbeda pendapat antar kementrian yang mengakibatkan tumpang tindih kebijakan dan miss koordinasi, sehingga membingungkan masyarakat.
Baca: Putranya Alami Perundungan hingga Ditelanjangi, Orang Tua Ferdian Paleka Sedih dan Kecewa
Baca: Agnez Mo Bersyukur Wabah Virus Corona Mendekatkannya Pada Keluarga
Baca: Sang Agen Pesimis Dayot Upamecano Tinggalkan RB Leipzig
Baca: Jawaban Soal SMP TVRI Prosedur Penjernihan Air Menggunakan Biji Kelor, Senin, 11 Mei 2020
Kegaduhan tersebut karena pemerintah gagal menganalisa dan memprediksi tentang situasi global, salah langkah dalam mengambil kebijakan ditengah pandemi global yang saat itu sudah menimpa berbagai negara.
Di Indonesia penyebaran pandemi covid-19, lebih dari tige belas ribu orang terkena covid -19, dan lebih dari sembilan ratus orang meninggal dunia.
Penyebarannya terus berjalan mengancam kesehatan dan nyawa masyarakat.
Bukan hanya berdampak pada kesehatan, dampak ekonomi, sosial, budaya, dan banyak aspek kehidupan masyarakat terganggu.
31 Maret lalu pemerintah pada akhirnya mengeluarkan kebijakan, yaitu Peraturan Pemerintah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Keppres penetapan kedaruratan kesehatan.
Dengan tujuan agar pemerintah daerah tidak mengeluarkan kebijakan masing-masing, dan semua kebijakan daerah harus disesuaikan dengan peraturan UU, PP, dan kepres tersebut.
PSBB diberlakukan pertama di Provinsi DKI Jakarta, kemudian sebagian Provinsi Jawa Barat, sebagian kota/kabupaten diSumatra Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, sampai Sulawesi.
Berbagai daerah lainnya terus bertambah mengajukan PSBB di wilayahnya dan bahkan beberapa wilayah diperpanjang masa pemberlakukan PSBB karena kondisi pandemi yang belum selesai.
Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) diharapkan bisa mencegah penyebaran Covid-19, dengan berbagai SOP sesuai dengan daerah masing-masing.
Tidak sedikit persoalan ketika PSBB ini diberlakukan, terutama bagaimana pemerintah memenuhi kebutuhan pokok masyarakat yang tidak mampu dan bertambahnya jumlah masyarakat kurang mampu karena terdampak pandemi ini.
Bantuan yang disalurkan oleh pemerintah mengalami kendala mulai dari persiapan kebutuhan sembako yang memakan waktu cukup lama dan yang paling bermasalah adalah proses pendataan untuk masyarakat terkena dampak pandemi ini yang terhimpun dalam Non Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), sampai diberlakukannya hari ini banyak daerah yang belum bisa menyelesaikan persoalan pendataan tersebut, dan tidak sedikit masyarakat yang belum menerima bantuan.
Pendanaan bantuan sosial untuk masyarakat yang terdampak pandemi bersumber dari APBN, APBD Proviinsi, APBD kabupaten/kota, dan anggaran desa.
Bentuk penyalurannya pun beragam dan sangat “inovatif” dari mulai bantuan presiden, Kartu Prakerja, PKH, bantuan Provinsi, bantuan kabupaten/kota, bantuan desa, dan berbagai “inovasi” yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Yang menjadi titik tekan pemerintah, jangan sampai ada masyarakat yang menerima dobel bantuan.
Disini pemerintah daerah harus memperbaharui data siapa saja masyarakat yang terkena dampak oleh pandemi, mengklasifikasi, dan memastikan jangan sampai terjadi dobel data yang dilakukan oleh ujung tombak pemerintah kultural Indonesia yaitu RW dan RT, setelah pasti baru bantuan disalurkan.
Hal ini membuat gaduh RT/RW dan masyarakat tentang harapan bantuan yang tak kunjung datang karena masalah pendataan yang tidak selesai.
Pemerintah tidak paham bagaimana kondisi dilapangan RT/RW harus melakukan pendataan dan mengklasifikasi data sesuai pos bantuan.
Karena butuh waktu untuk mensosialisasikan kepada RT/RW yang mohon maaf tidak semua RT/RW mempunyai kemampuan secara kualitas, dan harus diberikan bimbingan oleh Kelurahan/Desa serta kecamatan sebagai organisasi pemerintahan formal tidak seperti RT/RW.
Jadi jangan sampai RT/RW disalahkan ketika ada kekeliruan pendataan, seharusnya Kelurana/Desa atau kecamatan yang bertanggung jawab penuh dalam proses pendataan, karena lembaga tersebut bagian dari perangkat pemerintah, sedangkan RT/RW merupakan organisas social masyarakat/ Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD) yang merupakan binaan Pemerintah sebagaimana dalam Prrmendagri No. 18/2018.
Dalam situasi pandemi ini dan kebijakan PSBB yang diberlakukan, masyarakat sangat membutuhkan kebutuhan dasarnya yaitu mengisi perutnya, yang harus segera dipenuhi oleh pemerintah.
Kebutuhan masyarakat tidak bisa berkompromi dengan waktu untuk menunggu datangnya bantuan.
Masyarakat tidak butuh hanya sekedar disuguhi postingan dan himbauan. “Inovasi-inovasi” yang dilakukan pemerintah memakan waktu lama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, satu minggu PSBB berjalan bantuan baru sampai, itupun tidak merata.
Karena penyalur bantuan lainnya tidak serempak melakukan bantaun. Bahkan tidak sedikit masyarakat di daerah belum sama sekali mendapat bantuan tersebut.
Dalam situasi pandemi ini seharusnya strategi taktis dan efektif yang diambil pemerintah, dengan melihat kekurangan dan kelebihan perangkat yang dimiliki serta kondisi dan kultur masyarakat Indonesia.
Tidak perlu banyak pintu untuk melakukan bantuan bagi masyarakat, justru dalam situasi seperti ini langkah efektif yang harus dilakukan untuk menangani persoalan kebutuhan masyarakat.
Yang kedua dalam situasi pandemi ini kunci utamanya adalah keserempakan, bagaimana keserempakan seluruh masyarakat Indonesia untuk mencegah menyebaran covid 19 ini.
PSBB yang dilakukan sekarang dengan bentuk termin perdaerah dan tidak seluruh wilayah Indonesia melakukannya, justru menyebabkan desentralisasi penyebaran covid-19 ke daerah daerah yang awal mulanya virus ini hanya ada di wilayah tertentu, apalagi implementasi PSBB tidak seutuhnya ketat dilakukan pemerintah daerah.
Aktivitas masyarakat masih bisa berjalan berpindah tempat, dari satu tempat ketempat lainnya, dan pemerintah pun juga harus serempak memberikan bantuan kepada masyarakat dengan memperhatikan prinsip efektifitas dan efisiensi, serta menghindari kegaduhan di masyarakat.
Pemerintah diharapkan secepatnya medistribusikan bantuan, jangan terlalu perfeksionis melakukan verifikasi data disituasi pandemi seperti ini, terlebih masyarakat tidak bisa menuggu.
Setelah diimplementasikan nanti bisa dievaluasi kurangnya dimana, tepat sasaran atau tidak dan lain sebagainya, untuk mendistribusikan bantuan selanjutnya.
Seharusnya pemerintah mempunyai timeline dan deadline, sehingga tolak ukurnya adalah waktu, ketika ada kendala teknis pemerintah harus punya alternative kebijakan sehingga pendistribusian bantuan tidak terhambat oleh kendala-kendala tersebut.
Sekali lagi ini adalah situasi pandemi, masyarakat membutuhkan segera bantuan.
Pemerintah punya data DTKS pemerintah punya data hasil dari sensus penduduk, dan pemerintah melakukan pendataan Non DTKS, pemerintah punya perangkat kecamatan, kelurahan dan desa, ditambah bantuan dari RT/RW yang sudah sangat membantu.
Data dan perangkat sudah cukup untuk segara melakukan penyaluran bantuan.
Yang harus dipersiapkan pemerintah kedepan, dari sekarang melakukan pendataan untuk nanti masuk dalam tahap pasca pandemi, yaitu program pemulihan ekonomi yang dialokasikan Rp150 triliun rupiah dan Rp 70,1 triliun rupiah untuk intensif pajak dan kredit usaha rakyat dari APBN dan belum lagi tambahan anggaran pemerintah daerah.
Jangan sampai ketika nanti program ini direalisasikan, pemerintah juga lama untuk menjalankan program karena persoalan data.
Yang kedua yaitu jumlah alokasi dana yang begitu besar yaitu Rp 150 triliun ini jangan sampai salah sasaran, harus betul –betul membantu masyarakat kecil yang bergerak dibidang UMKM, harus bisa mengcover dan mengakomodir masyarakat yang terkena PHK dan segmen lainnya.
Maka dari itu perlu pendataan yang matang dan harus dilakukan dari sekarang sehingga ketika nanti pandemi ini selesai eksekusi program pemulihan ekonomi bisa segara berjalan dan inovasi program pun bisa dirancang sedemikian rupa karena mempunyai waktu yang cukup untuk mempersiapkannya sehingga tepat sesuai kebutuhan masyarakat, dan cepat memulihkan perekonomian Indonesia.
* ) Khoirul Anam Gumilar Winata S.IP,. M.IP adalah Ketua Umum Badko HMI Jawa Barat