Dan Guru menjawab: Ingatkah kamu akan nasihat luhur, “Gusti iku cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan,” Tuhan itu dekat meski kita tidak dapat menyentuhnya dan akal kita dapat menjangkaunya.
Dengan kata lain, keberadaan Tuhan itu sangat dekat dengan manusia tapi tidak dapat di sentuh, dan jauh tetapi tidak ada jarak dengan manusia.
Dalam keheningan, dalam doa, dalam berpuasa, dalam pelayanan, dalam iman, dalam cinta pada sesama, dan juga dalam damai, kita akan menemukan-Nya.
Manusia yang sudah bisa mati rogo, mati raga, memperteguh hati dengan menolak segala macam kesenangan diri; menahan hawa nafsu, mengendalikan diri maka akan dikendalikan oleh, ada yang menyebutnya, cahaya ilahiyah, cahaya ilahi.
Kalau sudah demikian, maka segala tindakan mencerminkan sifat Hyang Ilahi: serba pengasih dan penyayang, misericordia—belas-kasih, kerahiman, kerelaan, kemurahan, kedermawanan—terhadap sesama.
Bukankah, manungsa iku kanggonan sipating Pangeran, manusia itu memiliki sifat Tuhan, karena memang manusia diciptakan sebagai citra-Nya.
Mungkin semua itu sulit kau pahami, muridku. Baiklah, akan kujelaskan begini: Secara kejiwaan, berpuasa memurnikan hati orang.
Dengan berpuasa, memudahkan kita berdoa. Puasa juga dapat merupakan korban atau persembahan; mengorbankan kesenangan kita dan kita persembahkan kepada Hyang Agung.
Puasa juga bisa dikatakan sebagai doa dengan tubuh. Mengapa demikian?
Karena dengan berpuasa orang menata hidup dan tingkah laku rohaninya. Dengan berpuasa, orang mengungkapkan rasa lapar akan Tuhan dan kehendakNya.
Dengan berpuasa, orang mengorbankan kesenangan dan keuntungan sesaat, dengan penuh syukur atas kelimpahan karunia Tuhan.
Dengan berpuasa, orang diharapkan sadar bahwa telah melakukan kesalahan, bahwa telah berbuat yang tidak semestinya, telah berlaku serakah.
Karena itu, dengan berpuasa dan berdoa secara sungguh-sungguh orang lalu dengan sadar meninggalkan keserakahan serta menyesalinya.