Sama halnya, iman yang teguh itu dicapai dengan tapa brata, puasa, dan doa berserah pada Hyang Maha Tunggal. Karena itu, berulangkali kukatakan padamu; Ambillah waktu untuk bermenung, ambillah waktu untuk berdoa, ambillah waktu untuk puasa. Itulah sumber kekuatan. Itulah kekuatan terbesar di atas Bumi ini.
Nah, setelah panjang lebar, aku jelaskan padamu, muridku, sudah paham bukan mengapa kita semua umat beragama—apa pun agamanya, tanpa kecuali—perlu berpuasa dan berdoa bersama-sama.
Dalam kondisi seperti sekarang ini, ketika dunia “dikuasai” oleh pandemi Covid-19, jalan yang terbaik setelah segala cara dan usaha dilakukan untuk mengatasinya, adalah kembali kepada-Nya.
Bukan berarti kita putus asa. Bukan! Doa yang seharusnya adalah minta diberi kekuatan untuk menerima apa saja yang Allah rencanakan dan kehendaki untuk kita.
Bukankah ajaran leluhur jelas mengingatkan kepada kita semua, “Gusti iku sambaten naliko sira lagi nandhang kasangsaran. Pujinen yen sira lagi nampa kanugrahaning Gusti.”
Mohonlah kepada Tuhan jikalau engkau sedang menderita sengsara. Dan lambungkanlah pujian syukur kepada Tuhan jikalau engkau diberi anugerah-Nya.
Kalau kita semua percaya pada-Nya, Hyang Agung, kekuatan puasa dan doa kita semua, seluruh umat beragama akan mampu mengatasi rasa bimbang, rasa takut, rasa khawatir, rasa tercekam, rasa putus-asa, rasa kesepian yang umumnya sekarang dirasakan oleh banyak orang karena pandemi Covid-19.
Pepatah luhur mengatakan, Gusti Allah mboten sare; Allah tidak tidur. Jadi, semua yang dilakukan oleh manusia tidak lepas dari pengamatan yang Maha Kuasa.
Tentu, dalam usaha mengatasi pandemi Covid-19, termasuk doa dan berpuasa yang dijalankan secara sungguh-sungguh sebagai simbol keprihatinan dan praktek asketik, sebagai sarana penguatan batin, sebagai ibadah.
Akhirnya sambil memejamkan mata dan bersedakap, menyilangkan tangan di dada, Guru berkata lirih, “Ketika kamu memanggil Tuhan lewat doa dan puasa, Tuhan akan menjawab. Ketika kamu berteriak minta tolong lewat doa dan puasa, Tuhan akan menjawab: Ini Aku. Maka saat itu, terangmu akan terbit dalam gelap, dan kegelapanmu akan seperti bintang rembang tengah hari.”
“Lanjutkanlah puasa dan doamu, dengan sepenuh hati, jiwa, dan raga,” kata Guru sebelum masuk ke sanggar pamudyan untuk menemui Sang Aku.
*Trias Kuncahyono: Peneliti Middle East Institute Jakarta dan eks jurnalis senior harian KOMPAS