Oleh: Trias Kuncahyono
KAMI pertama kali bertemu dan berkenalan pada tahun 1989, di Surabaya. Dunia jurnalistik lah yang mempertemukan kami berdua: sama-sama sebagai wartawan muda.
Pertemuan itu biasa saja. Tidak ada yang istimewa, kecuali satu hal: ia anak seorang kiai dan cucu seorang kiai dari sebuah pesantren di Jawa Timur.
Kiai adalah salah satu unsur utama dari pesantren, selain santri, masjid, pondok, dan kitab kuning.
Perkawanan itu berjalan biasa, sampai kami berpisah, berjauhan secara geografis.
Waktu terus berjalan dan menampung segala peristiwa sejarah.
Sejarah dicatat dalam buku, tetapi sejarah tidak ditampung di dalam buku, melainkan di dalam waktu. Waktu membentuk sejarah.
Waktu dan kejadian-kejadian yang berada di dalam kelangsungan proses waktu membentuk keseluruhan sejarah.
Baca: Tuai Kecaman, Belajar Instal Windows 10 di Kartu Prakerja Bayar 260 Ribu, Padahal di Internet Gratis
Banyak yang terjadi peristiwa dalam perjalanan hidup kami yang menjadi bagian sejarah kami masing-masing.
Suatu ketika, ia meninggalkan dunia jurnalistik, terjun ke perusahaan minuman asal Amerika, lalu bekerja di sebuah bank terkenal yang berinduk di Inggris.
Tiba-tiba, melompat terlibat dalam kegiatan sebuah organisasi olah raga paling populer di negeri ini, lalu membuka perusahaan public relation, dan terakhir kerja di sebuah perusahan televisi berlangganan.
Tetapi, ibarat peribahasa, "Setinggi-tingginya bangau terbang, akhirnya ke pelimbahan (kubang) juga," sejauh-jauhnya merantau akhirnya kembali ke kampung halaman juga.
Ia kembali ke pesantren. Tidak sebagai santri, tentu, melainkan sebagai pengasuh.
Baca: Kemnaker: Pegawai Mediator Hubungan Industrial Siap Siaga Kawal Posko THR
Panggilan?