"Begitulah. Aku kudu ngasuh pondok. Wong iki tinggalane mbah-mbah. Biyen Mbah Kung soko ibu iku, Mbah Maksum Ali kuwi mantune KH Hasyim Ashari. Beliau ditugasi gawe pondok. Lalu setelah itu, bapakku, Machfudz Anwar, dan sekarang giliran aku," kata Mas Kiai—begitu saya memanggilnya—sambil tertawa.
Inilah panggilan hidup. Panggilan hidup adalah suatu dorongan dari dalam diri manusia untuk berkarya sesuai agenda Allah dengan menggunakan karunia yang ada dalam dirinya.
Panggilan hidup tidak perlu dicari, cuma perlu disingkapkan saja. Karena panggilan hidup itu ada di dalam diri kita masing-masing.
"Dan, ternyata panggilan saya mengasuh pondok," katanya.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan, pondok pesantren, tentu peran yang diambil adalah usaha untuk mencerdaskan pendidikan bangsa.
Sebuah peran yang sudah dijalankan sejak jauh sebelum republik ini lahir.
Baca: Memicu Hantavirus, Ini Hal yang Harus Kamu Hindari Selama di Rumah
Seorang sahabat asal Madura yang pernah menuntut ilmu di Universitas Al- Azhar, Kairo Mesir, mengatakan, pendidikan pesantren bukanlah untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, melainkan pembentukan karakter.
Para santri dididik dan diberi pemahaman bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan.
Pengasuh pondok bagaikan seorang penabur benih: ada benih yang jatuh di tepi jalan, ada di tanah berbatu, ada benih yang jatuh di semak-berduri, dan ada benih yang jatuh di tanah yang subur.
Benih yang jatuh di tepi jalan, mungkin segera diinjak-injak orang, atau dimakan burung. Tidak tumbuh.
Benih yang jatuh di atas tanah bebatuan, mungkin hidup, tetapi tidak bertahan lama, karena tanahnya tipis.
Yang jatuh di antara semak berduri, tumbuh tetapi dalam perjalanan waktu akan kalah dengan semak-duri dan tidak menghasilkan apa-apa.
Sedangkan yang jatuh di tanah subur, akan tumbuh, berkembang dan berbuah.
"Yah, seperti yang dikatakan Didi Kempot, ‘tak tandur pari jebul thukule malah suket teki kutanam padi ternyata yang tumbuh malah rumput teki.’