News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Piagam Djakarta Vs RUU HIP

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Drs H Sumaryoto Padmodiningrat MM

Hal ini mengingatkan kita akan proses perumusan dasar negara Pancasila yang berlangsung di BPUPKI, di mana terjadi pertarungan antara penganut ideologi kanan dan penganut ideologi kiri.

Perdebatan pun berlanjut di sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sidang akhirnya menyepakati, yang dipakai adalah Pancasila seperti yang termaktub di dalam Piagam Djakarta atau Djakarta Charter, dengan menghilangkan 7 kata pada sila ke-1.

Piagam Djakarta adalah sebuah dokumen historis berupa kompromi antara pihak agamais (penulis lebih memilih dengan sebutan kaum kanan) dan pihak nasionalis (penulis lebih memilih dengan sebutan kaum kiri) dalam BPUPKI untuk menjembatani perbedaan pandangan dalam agama dan negara.

Mengapa penulis lebih memilih sebutan kaum kanan dan kaum kiri? Sebab baik kaum agamawan atau penganut ideologi kanan, maupun penganut ideologi kiri, mereka sama-sama nasionalis yang mencintai bangsa dan negaranya.

Adapun Piagam Djakarta merupakan piagam atau naskah yang disusun dalam rapat Panitia Sembilan atau sembilan tokoh Indonesia pada 22 Juni 1945 malam.

Semula sila ke-1 Pancasila berbunyi, "Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya".

Setelah 7 kata terakhir dihapus akhirnya menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" seperti yang termaktub di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945. Itulah Pancasila yang kita kenal sekarang ini.

Ironi

PDIP selama ini mengklaim Pancasilais, bahkan mungkin yang paling Pancasilais. Akan tetapi kenapa justru menjadi pelopor bagi penyusunan RUU HIP yang justru akan mendegradasi eksistensi Pancasila? Ironis, bukan?

"Memeras" Pancasila menjadi "Trisila" bahkan "Ekasila" justru akan mengeliminasi bahkan menghilangkan Pancasila itu sendiri.

Menghilangkan Pancasila berarti membubarkan NKRI. Lantas, di manakah nasionalisme kita?

Kini, setelah Presiden Jokowi lepas tangan, apakah DPR RI akan tetap melanjutkan atau akan menghentikan pembahasan RUU HIP? Kalau kemudian DPR RI menghentikan, penghentian itu sementara, atau selamanya yang berarti RUU HIP didrop dari Prolegnas 2020-2024?

Setelah ditunda hingga 2024, kemudian pengganti Jokowi nanti dari kaum kanan, tampaknya RUU HIP hanya akan menjadi kenangan. Maka saat ini kaum kiri pasti terus mencari celah agar RUU tersebut disahkan menjadi UU sebelum Jokowi lengser keprabon pada 2024.

Sebaliknya, setelah Jokowi purnabakti nanti, mungkinkah kaum kanan akan bangkit kembali dan mengusung Piagam Djakarta sehingga 7 kata dikembalikan lagi ke dalam sila ke-1 Pancasila, atau bahkan paham Khilafah?

Kita tunggu saja tanggal mainnya. Yang jelas, dinamika dan dialektika kaum kanan versus kaum kiri akan terus mewarnai perjalanan bangsa ini, kali ini Piagam Djakarta versus RUU HIP. Yang penting bagi kaum nasionalis sejati, mempertahankan Pancasila dan NKRI adalah harga mati.

* Dr H Sumaryoto Padmodiningrat MM: Mantan Anggota DPR RI.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini